Mediatugu.com – Tantangan utama penanggulangan terorisme di masa pandemi Covid-19 kini muncul di jaringan siber atau internet.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar mengungkapkan, selama masa pandemi ini grup teroris memaksimalkan aktivitasnya secara daring.
Pesan tersebut disampaikan Boy saat menjadi pembicara pada acara the Second United Nations High-Level Conference of Heads of Counter-Terrorism Agencies of Member States di New York, secara virtual, Rabu (30/6).
“Selama pandemi Covid-19 yang merupakan ancaman keamanan dan ketertiban dunia tidak serta merta menghilang. Justru menciptakan tantangan baru, misalnya lewat aktivitas teroris di dunia maya yang semakin masif,” kata Boy dalam keterangannya, Kamis (1/7).
Menurutnya, aktivitas di internet yang dilakukan teroris menjadi lebih efektif dalam mendoktrin generasi muda untuk mendukung ideologi mereka dan kemudian ikut melakukan aksi teror.
Contohnya, kasus wanita muda yang menyerang Mabes Polri beberapa waktu lalu. Diduga ia terpapar ideologi ISIS dari internet.
Kini, para teroris juga menggunakan internet dalam melakukan pendanaan untuk mendukung aksi terorisme. Selama pandemi berlangsung, terdapat kenaikan 101 persen transaksi keuangan mencurigakan.
“Terdapat aktivitas crowd-funding dalam pendanaan aktivitas teroris. Ini juga jadi ancaman baru di masa pandemi,” jelasnya.
Boy menambahkan, saat ini juga ada kecenderungan wanita menjadi teroris. Studi dari Soufan Center menyebut, angka dukungan kepada teroris yang dilakukan kaum wanita bertambah di wilayah Asia Tenggara.
“Secara statistik tahun 2015 ada 3 wanita yang ditangkap karena kasus terorisme, sementara dari tahun 2016-2020 sudah mencapai angka 40 orang,” katanya.
Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan aksi terorisme yang dilakukan wanita seperti di Surabaya, Jawa Timur, Sibolga, Sumatera Utara, dan baru-baru ini di Makassar, Sulawesi Selatan.
Boy mengungkapkan, tantangan di masa Covid-19 yang tidak kalah penting terkait dengan radikalisme serta adanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi teroris asing atau foreign terorist fighters (FTF).
Untuk FTF sendiri diperkirakan terdapat 600-700 WNI yang ditahan di sejumlah kamp di Suriah. Mayoritas dari mereka adalah wanita dan anak-anak.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, masih kata Boy, Indonesia telah melakukan penguatan criminal justice response pada isu penanggulangan terorisme melalui pengesahan dan penerapan beberapa peraturan seperti UU 5/2018, PP 77/2019, PP 35/2020, serta Perpres 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Extremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme.
“Indonesia percaya bahwa keseimbangan harus dipertahankan antara pendekatan keras dan lunak. Untuk pencegahan terorisme atau pendekatan lunak perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan jangka panjang melawan terorisme,” demikian Boy.