mediatugu – Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan isu khilafah perlu ditanggulangi agar tidak berkembang di Indonesia. Sebab sebagai negara yang berbentuk republik, hal ini kerap dipandang tidak Islami, sehingga muncul pergolakan. Sementara dalam Islam, bentuk negara bukan hal baku. Oleh karena itu, pandangan seperti ini perlu mendapat perhatian serius dan disikapi dengan toleransi agar tidak menjadi ancaman kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di masa mendatang.
“Masyarakat harus terus disadarkan bahwa sesuai fiqih Islam, bentuk negara itu bukan sesuatu hal yang baku, melainkan dapat disesuaikan dengan kesepakatan atau kebutuhan warga negaranya. Adapun kesepakatan yang telah disusun pendiri bangsa, harus selalu disepakati dengan saling menjaga toleransi antarumat beragama,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin
Wapres menerangkan, bentuk negara Indonesia merupakan hasil sebuah kesepakatan. Begitu pula dasar negara dan mekanisme dalam menjalankan negara ini.
“Kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, menjadikan UUD 45 sebagai mekanisme dalam menjalankan negara. Ini menjadi landasan kita. Bentuk negara juga kesepakatan, bahwa bentuk negara kita ini adalah republik,” jelas Wapres.
Wapres menganalogikan bahwa kondisi penduduk Indonesia yang majemuk sama dengan kondisi penduduk Madinah ketika Rasulullah Muhammad SAW sedang mengembangkan agama Islam. Menurutnya, secara internal Nabi Muhammad SAW membangun umat melalui upaya pendekatan melalui keyakinan, pemahaman, termasuk dmembangun hubungan baik dengan umat non-muslim. “Selain kepribadian beliau yang menarik, Muhammad juga membangun kesepakatan-kesepakatan sehingga memberikan suasana nyaman dan mudah,” tutur Wapres.
Sebelum kedatangan nabi, lanjut Wapres, masyarakat Madinah terdiri beberapa golongan, seperti Kabilah Aus dan Khazraj, yang sering berperang. Namun kehadiran Nabi Muhammad SAW berhasil menyatukan kaum tersebut, sehingga membuat rasul berhasil membangun masyarakat Madinah dengan cepat. “Bahkan nabi membangun kesepakatan dengan Quraisy di Makkah dengan perjanjian Hudaibiyah,” terang Wapres.
Lebih lanjut Wapres menyatakan, hal tersebut dilakukan para pendiri bangsa Indonesia dengan meletakkan pedoman dasar negara berdasarkan kesepakatan semua pihak, termasuk ulama masa itu.
“Dalam perspektif Islam, itu disebut al mitsaq al wathoni (wujud perjanjian kebangsaan). Itu adalah kesepakatan nasional. Melihat ayat-ayat Alquran, kalau ada kesepakatan itu, maka tidak boleh saling mengganggu, saling membunuh,” ujar Wapres.
Di samping itu, menurut Wapres, Islam di Indonesia adalah Islam yang kaffah maal mitsaq atau penerapan Islam yang menyeluruh dengan kesepakatan kebangsaan yang beragam. Bahwa yang kaffah (menyeluruh) adalah aqidah, ibadah, dan akhlaknya, tetapi juga ada kesepakatan yang harus dipenuhi.
Mengenai kelompok separatis yang muncul dan mengangkat isu khilafah, Wapres berpendapat bahwa ada mispersepsi yang terjadi dan perlu diklarifikasi.
“Ada dua hal yang perlu di-clear-kan. Pertama, ada mispersepsi tentang khilafah. Ada pemahaman bahwa sistem dalam Islam itu harus khilafah. Padahal, sistem khilafah memang ada dalam Islam, diterima di negara Islam. Tapi sistem kerajaan juga ada yang menerima, seperti di Arab Saudi. Karena memang kesepakatan di sana adalah sistem kerajaan. Sistem republik juga ada, selain di Indonesia, di Pakistan, Iran, Turki, Mesir, jadi disepakati juga oleh ulama di sana. Jadi bukan berarti bentuk negara republik itu tidak Islami,” terang Wapres.
Kedua, lanjut Wapres, adanya pemahaman seakan-akan Indonesia ini masih bisa digonta-ganti adalah salah, karena kesepakatan hukumnya mengikat. Sebagaimana yang diamanatkan surah An Nisa ayat 92, Wa in kana min qaumin bainakum wa bainahum miitsaqun fadiyatun musallamatun ila ahlihi, artinya umat Islam diajarkan untuk berkomitmen menjaga kesepakatan atau memenuhi perjanjian. “Orang Islam itu harus patuh pada perjanjian yang mereka buat,” imbuh Wapres.
Wapres menekankan kembali bahwa pendapat yang menyatakan bentuk negara Indonesia saat ini membuat umat Islam tidak dapat menjalankan syariat Islam adalah pandangan keliru. Karena sebagian besar syariat Islam telah tertuang dalam hukum perundang-undangan negara.
“Di dalam masalah muamalah, bahkan bukan hanya boleh, tapi diberi undang-undangnya. Sudah ada undang-undang tentang jaminan produk halal, makanan halal. Pengamalan akidah sudah ada. Bahkan mungkin masalah Jinayat itu sudah ada. Memang belum seluruhnya, itu yang masih debatable (masih bisa diperdebatkan) itu (yang belum), beberapa tafsir. Tapi sebagian besar sudah ada pada sistem kenegaraan,” tandas Wapres.