Pemerintah terus mendorong pelaksanaan ekonomi hijau dalam arah pembangunan ke depan. Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa bandul ekonomi dunia bergerak ke arah tersebut, sehingga Indonesia harus bersiap. “Harus secepatnya menggeser arah ekonomi kita sesuai dengan yang kita bicarakan di G20,” kata Jokowi saat membuka Rapat Pimpinan Nasional Kadin Indonesia Tahun 2021 di Bali, Jumat, 3 Desember lalu.
Perubahan iklim memang menjadi tantangan besar negara-negara di dunia saat ini, terutama terkait peningkatan suhu bumi akibt emisi gas rumah kaca. Indonesia telah ambil bagian dalam Perjanjian Paris untuk ikut mencegah pemanasan global. salah satu strateginya adalah mengimplementasikan ekonomi hijau sebagai strategi transformasi ekonomi jangka menengah panjang. “Terobosan-terobosan baru sangat diperlukan untuk bisa melakukan lompatan dalam mencapai target SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan) ini,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pemerintah telah menetapkan arah kebijakan melalui pembangunan rendah karbon. Hal ini dilakukan melalui penurunan dan intensitas emisi pada bidang prioritas meliputi energi, lahan, limbah, industri, dan kelautan.Penerapan Pembangunan Rendah Karbon juga diharapkan dapat terus menekan emisi hingga 34 persen– 41 persen di 2045 melalui pengembangan EBT, perlindungan hutan dan lahan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan limbah terpadu.
Dalam aspek regulasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-Undang Cipta Kerja menyempurnakan berbagai regulasi yang sebelumnya berlaku. Khusus untuk Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UU yang disempurnakan adalah UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Perhatian pemerintah terhadap perlindungan dan pembangunan lingkungan guna mendukung ekonomi hijau, diwujudkan dengan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau Indonesian Environment Fund. Lembaga ini berperan penting untuk memobilisasi berbagai sumber pendanaan pengelolaan lingkungan hidup serta dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak.
Pada Juni lalu, BPDLH mendapat hibah dana program sebesar US$ 103 juta. Dana hibah ini diperoleh berdasarkan insentif Result Based Payment (RBP) karena Indonesia dipandang sukses menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2014 sampai 2016 sebesar 20,25 juta ton melalui kegiatan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) Green Climate Fund (GCF).
Dana hibah ini akan disalurkan secara bertahap sesuai dengan Annual Work Plan selama tahun 2021 hingga 2025 dengan bentuk insentif finansial atau moneter.“Dana ini diharapkan dapat memberikan insentif kepada pihak-pihak yang berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca, khususnya sektor kehutanan dan mendorong setiap pihak untuk berkontribusi menurunkan emisi tersebut,” kata Ludiro, Direktur Sistem Manajemen Investasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Pemberian dana hibah ini menjadi pembuktian penting bagi pemerintah terkait komitmen pembangunan yang memperhatikan lingkungan hidup. Berbagai langkah pemerintah, termasuk penerbitan UU Cipta Kerja maupun peraturan turunannya diupayakan sepenuhnya untuk membangun Indonesia yang lebih baik.