Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law dinilai memberikan kemudahan berusaha dalam sektor Usaha Mikro Kecil dan Menangah (UMKM) untuk mengembangkan produk pelaku usahanya. Undang-undang ini merupakan hasil perbaikan dari kendala-kendala yang terjadi di sektor UMKM seperti kemampuan manajemen usaha, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih terbatas, serta lemahnya akses ke lembaga keuangan, khususnya perbankan. Lantas masih adanya pihak-pihak dan kelompok kepentingan yang masih mengusung isu penolakan UU Cipta Tenaga kerja yang terus digaungkan di tengah-tengah masyarakat untuk di provokasi menolak UU tersebut, kiranya perlu dikaji ulang dalam membaca dan memahami ayat demi ayat dari UU tersebut yang didesain memberikan efek manfaat kepada masyaraka dan pelaku usaha. Dalam hal ini literasi menjadi suatu kebutuhan masyarakat agar menerima informasi yang berimbang, berkualitas serta memiliki akar argumentasi yang kuat sehingga tidak terjebak dalam kegelapan opini dalam menilai UU tersebut.
Berdasarkan data Kementerian UKM dan Koperasi pada 2021, kontribusi sektor UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61,97 %, meningkat dibanding 2020 yang tercatat 61,07% dari PDB. Seiring dengan tingginya kontribusi sektor UMKM terhadap PDB, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah orang bekerja mencapai pada Agustus 2021 mencapai 131,05 juta orang, dimana komposisi sebesar 59,45% atau 77,90 juta orang bekerja di sektor informal. Dari data ini membuktian bahwa Sektor UMKM memiliki peranan potensial dalam mendorong perekonomian nasional dan penyerapan tenaga kerja produktif. Oleh karena itu, sektor UMKM merupakan tonggak penggerak ekonomi tanah air apalagi disaat mulai pulihnya ekonomi akibat pandemi Covid-19. Mengapa hal ini dapat terjadi karena dorongan dari semangat UU tersebut yang dapat membuka lapangan kerja dan memberikan kemudahan dalam berinvestasi.
UU Cipta Kerja juga mendorong penguatan ekosistem UMKM melalui berbagai macam kemudahan. Di antaranya terkait perizinan, sertifikasi, pembiayaan, akses pasar, pelatihan, infrastruktur digital, penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, serta iklim berusaha di sektor e-commerce. Masyarakat akan mendapatkan berbagai macam kemudahan dari sisi percepatan perizinan dan juga kepastian ataupun legalitas usaha. Belajar dari pengalamah yang sudah-sudah, dapat dinilai bahwa perizinan yang cenderung sulit dan berbelit-belit serta tidak ada kepastian waktu dan biaya, akan menurunkan minat masyarakat untuk memulai usaha, dan menyulitkan serta membebani para pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan dan legalitas usaha, sehingga akan menyulitkan juga akses pinjaman ke lembaga keuangan dan perbankan. Artinya dengan adanya UU Cipta Kerja ini merupakah suatu terobosan guna memperbaiki aturan sebelumnya yang masih “abu-abu”.
Demi menggenjot tumbuhnya sector UMKM, pemerintah memfasilitasi pembiayaan dan memberikan insentif fiskal. Sesuai dengan Pasal 92 dan 93 UU Cipta Kerja berusaha memberikan bantuan bagi UMK di level pengembangan usaha, seperti misalnya kegiatan UMK dapat dijadikan jaminan kredit program serta pemberian insentif dan kemudahan.
Terdapat 4 macam insentif dan kemudahan yang diberikan, seperti:
- Kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam pengajuan fasilitas pembiayaan
- Insentif tidak dikenai biaya atau biaya ringan bagi UMK yang mengajukan perizinan
- Insentif kepabeanan bagi UMK di bidang ekspor
- Pemberian insentif pajak penghasilan bagi UMK tertentu.
Selain itu, pemerintah juga memberikan dana alokasi khusus, bantuan dan pendampingan hukum sesuai pasal 95 UU Cipta Kerja menyatakan, pemerintah pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan dan pengembangan usaha UMKM. Pasal 96 juga mewajibkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk menyediakan layanan bantuan hukum bagi pelaku UMK.
Masih banyak kemudahan-kemudahan selain poin-poin di atas yang disediakan pemerintah. Misalnya dalam keringanan permohonan sertifikasi halal seperti dalam Pasal 48 UU Cipta Kerja. Sebagaimana yang kita tahu, sebelumnya pada aturan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, menyatakan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal. Ketentuan ini mengikat setiap produk, baik yang dijual di supermarket sampai eceran. Namun dalam UU Cipta Kerja kemudian diberi kemudahan dimana pelaku usaha UMK yang ingin mengajukan permohonan sertifikasi halal dan tidak lagi dikenakan biaya.
Pemerintah juga mengatur program kemitraan bagi pelaku usaha UMKM dengan menyediakan akses bagi pemanfaatan fasilitas publik seperti di rest area, bandara, dan stasiun kereta api untuk menampilkan atau memasarkan produknya. Sehingga UMKM dapat menjalin kemitraan agar lebih mengeksplor jangkauan pasar mereka. Hal ini menjadi poin penting sebagai ikhtiar memajukan UMKM di Indonesia, terlepas pro-kontra UU Ciptaker ini namun perlu dicermati kebermanfaatan disektor UMKM.