Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) belakangan ini menjadi pembicaraan publik.
Hal ini terkait kritikan-kritikan yang disampaikan KAMI atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam beberapa kesempatan KAMI kerap melontarkan kritik terhadap pemerintah terutama dalam hal penanganan Covid-19, pemberantasan korupsi, serta dilanjutkannya pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah situasi pandemi.
KAMI menilai bahwa sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah kurang tepat.
Misalnya, dalam hal pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dengan DPR, sejumlah klausul yang diatur di dalam RUU tersebut dinilai membebani buruh dan lebih menguntungkan pengusaha.
Nama KAMI semakin menjadi perbincangan kala tiga orang deklarator KAMI menjadi tersangka terkait ujaran kebencian dan menyebarakn hoaks Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyentil yang juga merupakan Presidium KAMI.
Diketahui dua sosok ini memang memiliki pemikiran yang bersebarangan mengenai beberapa hal di dunia pemerintahan, seperti persoalan UU Cipta Kerja.
Ketidaksepahaman Gatot Nurmantyo dan Mahfud MD masih saja berlanjut hingga kini.
Hal ini bisa dilihat ketika Mahfud MD melemparkan sindiran tajam kepada Gatot Nurmantyo saat kedua diundang ke acara ILC.
Menko Polhukam Mahfud MD menyindir Presidium KAMI Gatot Nurmantyo terkait dengan penangkapan komunis dan soal persoalan di luar kendali pemerintah.
KAMI Bukan Siapa-siapa untuk Pemerintah
Hal itu bermula saat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu membahas soal kritikan ke pemerintahan Jokowi – Maruf Amin di masa jabatan setahun ini merupakan hal biasa.
Katanya semua pemerintahan pasti ada penolakan.
Makanya, dia mengaku tidak tertarik dan perlu menggubris KAMI yang disebut oposisi pemerintah.
Bahkan Mahfud MD menyebut KAMI yang dipimpin oleh Gatot bukanlah siapa-siapa.
“Saya sebenarnya tidak pernah tertarik untuk mengatakan ‘Wah KAMI itu opisisi pemerintah’. KAMI yang dipimpin oleh Gatot. Menurut saya nda, bukan apa-apa dia!” katanya.
Menurutnya, tidak ada yang baru kritikan yang disampaikan Gatot dkk kepada pemerintah.
Menurut Mahfud, isu-isu yang selama ini dilempar oleh KAMI sudah berulang kali dilontarkan oleh berbagai kalangan oposisi.
Tidak ada hal baru, cuma dikemas ulang dengan terus menciptakan momentum.
Kuliti Masa Lalu Gatot
Mahfud MD kemudian menguliti masa lalu Gatot yang juga pernah dikritik dengan hal yang sama.
Dia mencontohkan soal oligarki, korupsi dan isu komunis.
“Soal oligarki, itu kritik kita juga pada pak Gatot saat jadi Panglima. Sama kan?”
Sehingga menurut dia pemerintah tidak konsen karena tidak ada pikiran baru dalam bernegara.
Sebut Gatot Tak Mampu Selesaikan Persoalan yang Dikritiknya
Menko Polhukam Mahfud MD menjawab kritikan yang kerap dilakukan oleh pPresidium KAMI Gatot Nurmantyo.
Ia mengatakan bahwa Gatot sebelumnya juga tidak bisa menyelesaikan apa yang jadi bahan kritiknya itu.
Mahfud MD mulanya menjelaskan bahwa tokoh-tokoh yang dinilai ideal dan digadang-gadang bisa menjadi pemimpin yang baik, tidak menjamin bisa membuktikan diri pada saat memimpin.
Dirinya pun mencontohkan politikus senior Amien Rais dan Gatot Nurmantyo.
Menurutnya, Amien Rais tidak berbeda dengan para pemimpin atau pejabat saat ini yang selalu diberikan kritik pedas.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu lantas menyinggung peran Amien Rais ketika masih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memberantas korupsi.
Dikatakannya bahwa tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh Amien Rais meski saat itu masih memiliki kewenangan penuh sebagai Ketua MPR.
“Bukan hanya orang dikritik bahkan orang juga sesudah memimpin itu meskipun ideal sebelum memimpin, sesudah memimpin bisa dikatakan tidak bisa berbuat apa-apa di luar bidangnya,” ujar Mahfud MD.
“Pak Amien Rais, hebat, lokomotif demokrasi, tapi apakah apa dia bisa mengubah Indonesia, selama dia menjadi ketua lembaga tertinggi negara ndak berubah, korupsi masih banyak,” katanya.
“Krona-kroni masih banyak, padahal ketua MPR-nya, Amien Rais.”
Mahfud MD kemudian menyinggung soal Gatot Nurmantyo yang belakangan ini bersama organisasinya KAMI kerap mengkritik pemerintah.
Menurut Mahfud MD, semasa menjabat sebagai Panglima TNI, Gatot yang getol menyuarakan anti komunis tidak pernah menangkap satu pun orang yang berpaham terlarang tersebut.
Dirinya mempertanyakan kenapa pada saat itu tidak memberantas komunis andai saat ini dirinya menyakini aliran tersebut masih ada.
Menurut Mahfud yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini, hal itu lantaran Gatot sebagai Panglima TNI sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menangkap sipil yang melanggar hukum.
“Katanya banyak komunis, Pak Gatot pernah jadi panglima, mana komunisnya enggak ditangkap? Sekarang bicara komunis,” kata Mahfud MD.
“Karena bukan Pak Gatot enggak mau, dia enggak berwenang di bidang itu, pada saat itu,” lanjutnya.
Singgung Bila Gatot Jadi Presiden Pasti Ada yang Mengatakan Tak Paham Pancasila
Mahfud MD menyakini bahwa andaikan nanti Presidium Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo menjadi presiden RI maka tak akan lepas dari tudingan tidak mengerti Pancasila atau anti-Pancasila.
Mahfud MD mengatakan bahwa tudingan anti-Pancasila tidak hanya ditujukan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja.
Menurutnya, semua pemimpin di Indonesia selalu mendapat tudingan tidak paham dengan Pancasila.
Bahkan dikatakannya tidak terkecuali dengan pemerintahan pada era presiden pertama, Ir. Soekarno yang notabene merupakan seorang proklamator sekaligus penggagas dasar negara itu sendiri.
“Banyak orang mengatakan ‘Wah pemerintah sekarang ini enggak beres. Tidak mengerti Pancasila’,” ujar Mahfud MD.
“Saya katakan tidak ada satu pemerintah pun di Indonesia yang tidak dituduh tidak mengerti Pancasila,” jelasnya.
Mahfud MD mengatakan sebelum ditujukkan kepada Jokowi, tudingan anti-Pancasila sudah pernah dialami oleh Ir. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ia menambahkan bahwa kebanyakan tudingan tersebut membuat mereka memutuskan meletakkan jabatannya, karena tidak hanya tudingan, melainkan sudah diikuti oleh aksi massa.
“Bung Karno jatuh karena dituduh tidak ngerti Pancasila, padahal beliau yang ngerti Pancasila, katanya ‘Wah itu komunis’,” kata Mahfud MD.
“Sesudah itu katanya Pak Harto bagus. Jatuh karena dituduh melanggar Pancasila.”
“BJ Habibie orang hebat, didemo selama pemerintahannya, lalu dituduh tidak mengamankan Indonesia karena melepas Timor Timor, dibilang anti-NKRI, merusak NKRI, merusak Pancasila.”
“Gus Dur sama, habis dia, didemo katanya enggak bisa melaksanakan Pancasila. Jatuh dia,”
“Mbak Mega dituduh ‘Wah ini jual aset negara, bertentangan dengan Pancasila, bertentangan UUD 1945’. Di demo masa pemerintahannya.”
Tak terkecuali SBY yang merupakan presiden dengan periode memimpin dua kali juga ikut merasakan tudingan miring tersebut.
“Pak SBY iya juga, sampai didatangi oleh tentara-tentara ‘Anda mau ndak mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar. Ini pemerintah Anda melanggar Pancasila.”
Melihat pengalaman-pengalaman tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu pun menyakini bahwa siapapun orangnya yang akan memimpin Indonesia selalu diterpa isu ini.
Dirinya pun mencontohkan Gatot Nurmantyo, Ekonom Senior Rizal Ramli, Kepala KSP Moeldoko hingga dirinya sendiri.
“Sekarang juga sama dituduh begitu, besok kalau Pak Gatot jadi presiden pasti sama akan ada yang mengatakan Anda enggak ngerti Pancasila,” ungkapnya.
Respons Gatot
Meski dibombardir kritik, Gatot justeru terlihat santai dan tidak berusaha merespons atau menyela Mahfud
Dia diam saja sambil mengamati pernyataan pembicaraan sang menteri dengan saksama.
Padahal banyak orang menunggu respons dan komentar baliknya.
Kritik terhadap pemerintah merupakan hal yang wajar dan dibutuhkan dalam suatu negara demokrasi.
Namun, kritik tersebut harus disampaikan secara bijak dan mampu memberi solusi yang baik.
Jika ada yang mau mengkritik pemerintahan tentang kebijakan yang tak pro rakyat, itu adalah hal yang wajar.
Berarti masih banyak hal yang masih perlu diperbaiki.
Namun jangan sampai menggunakan kekerasan, menghujat atau menyebarkan hoaks.
Idealnya, kritik harus berisi masukan yang membangun, bukan berita bohong yang memprovokasi dan memicu kegaduhan.
Sumber : tribunnews