Satu Padu Kerahkan Daya Berantas Korupsi

Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap 9 Desember sepatutnya menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperteguh kerja-kerja pemberantasan korupsi. Hal ini penting mengingat korupsi berdampak luas terhadap berbagai sendi kehidupan bangsa. Tak hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), aparat penegak hukum lain, pemerintah, sektor swasta dan masyarakat perlu mengerahkan segala daya yang dimiliki untuk memberantas kejahatan luar biasa ini.

Selama setahun terakhir, kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dan aparat penegak hukum lain cukup menonjol. KPK misalnya, setelah hiruk pikuk alih status pegawai, lembaga antikorupsi menangkap dan menahan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin yang terlibat kasus suap penanganan perkara. Dalam sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/12/2021), jaksa mendakwa Azis menyuap mantan penyidik lembaga antikorupsi, Stepanus Robin Pattuju dan seorang pengacara, Maskur Husain. Suap sebesar Rp 3,09 miliar dan US$ 36.000 atau sekitar Rp 3,6 miliar itu diberikan Azis agar dirinya dan politikus Golkar Aliza Gunado tidak ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi. BACA JUGA

Selain Azis, sepanjang 2021, KPK telah menjerat sejumlah kepala daerah, seperti Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dan Bupati Muba Dodi Reza Alex Noerdin. KPK pun terus mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan lahan di Jakarta, dugaan suap pengurusan pajak, korupsi proyek e-KTP, bansos Covid-19. Tak hanya itu, KPK juga tengah menyelidiki penyelenggaraan Formula E di Jakarta. Sepanjang 2021, KPK telah menangkap dan menahan 109 tersangka korupsi.

“Penindakan tegas kurang lebih 109 orang sudah kita tangkap, dan kita tahan selama tahun 2021,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri saat menjadi pembicara dalam peringatan Hakordia 2021 yang digelar Kementerian Keuangan seperti dikutip dari akun Youtube Kemenkeu RI, Rabu (8/12/2021).

Firli menekankan, penindakan yang dilakukan KPK bukan hanya untuk efek jera terhadap pelaku korupsi. Lebih dari itu, bertujuan memulihkan kerugian keuangan negara atau asset recovery. Sepanjang 2021, Firli menyatakan, KPK telah mengembalikan keuangan negara dan pendapatan negara bukan pajak dari denda, rampasan sekitar Rp 2,6 triliun. Dalam upaya pencegahan, KPK juga telah menyelamatkan potensi kerugian keuangan negara senilai sekitar Rp 46,5 triliun. “KPK pun di dalam pencegahan dalam upaya pencegahan korupsi menyelematkan potensi kerugian keuangan negara kurang lebih Rp 46,5 triliun,” katanya.

Firli menekankan, lembaga antikorupsi tak pernah lelah untuk memberantas korupsi. Terdapat tiga strategi utama yang dilakukan KPK dalam memberantas korupsi, yakni pendidikan masyarakat, pencegahan, dan penindakan. “Kita berharap pada suatu saat tidak ada lagi korupsi. Mari kita berkarya untuk bangsa, mengabdi untuk negeri membebaskan NKRI dari praktik-praktik korupsi,” katanya.

Firli mengingatkan, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK tak akan berjalan optimal tanpa dukungan seluruh elemen masyarakat. Untuk itu, dalam peringatan Hakordia tahun ini, KPK mengangkat tema “Satu Padu Membangun Budaya Antikorupsi”. Tema ini, kata Firli merupakan kata kunci memperkuat segala sumber daya, semua semangat, tekad dan keterpaduan membangun budaya antikorupsi dalam rangka memberantas korupsi.

Kinerja Kejagung
Selain KPK, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga terus berupaya meningkatkan kinerjanya dalam memberantas korupsi. Sepanjang 2021, Korps Adhyaksa menangani berbagai kasus korupsi. Dua kasus korupsi yang ditangani Kejagung dan menyedot perhatian publik, yakni kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri. Kejaksaan Agung juga telah mengeksekusi uang pengganti perkara IM2 senilai Rp 1,3 triliun. Beberapa kasus lainnya yang ditangani Kejaksaan Agung di tahun 2021 yang cukup menonjol adalah kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. BACA JUGA

Jaksa Agung ST Burhanuddin bahkan menegaskan pihaknya tak segan menuntut terdakwa korupsi dengan pidana mati. Pernyataan Burhanuddin dibuktikan dengan menuntut hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat yang menjadi terdakwa perkara korupsi Asabri.

Sebelum Heru Hidayat, baru dua terdakwa korupsi yang dituntut hukuman mati di Indonesia. Dilansir dari berbagai sumber, Menteri Urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia periode 1963-1966, Jusuf Muda Dalam dituntut hukuman mati pada 9 September 1966 atas sejumlah dakwaan seperti penyelundupan senjata, penyelewengan dana revolusi senilai lebih dari Rp 97 miliar hingga beristri lebih dari empat. Namun, Jusuf Muda Dalam meninggal dunia saat di Rumah Sakit Cimahi sebelum bertemu eksekutor.

Kemudian, terdakwa lainnya yang dituntut pidana mati, yakni perwira TNI yang juga mantan manajer perusahaan Triangle Corporation, Kapten Iskandar atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan suap pada 1961. Namun, Mahkamah Militer Tinggi Jakarta menjatuhkan vonis 7 tahun penjara terhadap Kapten Iskandar.

Meski demikian, tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat merupakan yang pertama sejak berlakunya UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya menjelaskan, tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) dengan sejumlah pertimbangan. JPU menilai perbuatan Heru Hidayat dalam perkara korupsi Asabri telah merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 22,78 triliun. Dari jumlah itu, Heru Hidayat menikmati aliran uang sekitar Rp 12,6 triliun. “Nilai kerugian keuangan negara dan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sangat jauh diluar nalar kemanusiaan dan sangat menciderai rasa keadilan masyarakat,” tegasnya.

Selain itu, Heru Hidayat merupakan terpidana seumur hidup atas perkara korupsi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara dengan nilai yang juga sangat fantastis, yakni Rp 16,8 triliun dengan atribusi yang dinikmatinya mencapai Rp 10,7 triliun.
Perbuatan korupsi yang dilakukan Heru Hidayat dalam perkara Asabri dan Jiwasraya disebut Leonard merupakan kejahatan yang complicated dan sophisticated. Hal ini karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrumen pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam system pasar modal.

Korupsi Jiwasraya dan Asabri pun menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas, seperti anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT Asabri serta ratusan ribu nasabah pemegang polis Jiwasraya.

“Perbuatan terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di pasar modal dan asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum,” tegasnya.

Meski demikian, Heru Hidayat dinilai Kejagung tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah. Bahkan sebaliknya, Heru Hidayat dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.

“Terdakwa Heru Hidayat dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikit pun atas pebuatan yang telah dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan,” kata Leonard.

Kinerja Polri
Tak ingin ketinggalan dengan penegak hukum lain, Polri pun menangani sejumlah kasus korupsi. Teranyar, Bareskrim Polri menangani Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP) anak usaha BUMD DKI, Jakarta Propertindo (Jakpro), sementara Polda Metro Jaya mengungkap kasus korupsi di tubuh Peruri Digital Security (PDS), anak usaha BUMN, Peruri.

Keseriusan Polri dalam upaya pemberantasan korupsi pun ditunjukkan dengan merekrut para mantan pegawai KPK. Bertepatan dengan Hakordia, Polri melantik 44 mantan pegawai KPK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan dan mantan Ketua WP-KPK, Yudi Purnomo Harahap. Bergabung 44 mantan pegawai KPK ini diharapkan dapat memperkuat pemberatasan korupsi yang dilakukan Korps Bhayangkara. BACA JUGA

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menekankan, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa, telah merasuki sendi-sendi kehidupan di masyarakat kita. Korupsi, tegas Rusdi bisa sangat mengganggu kehidupan perekonomian di Tanah Air dan akan dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Polri sebagai penegak hukum, sesuai dengan Pasal 13 UU Kepolisian tentunya tidak akan henti-hentinya melakukan upaya pencegahan, upaya pemberantasan dari pada tindak pidana korupsi itu. Yang tentunya tidak bisa sendiri, melainkan bersama-sama dengan stakeholder lainnya,” katanya.

Meski demikian, kolaborasi antara KPK, Kejaksaan Agung dan Polri dalam memberantas korupsi tidak jarang mengalami kendala pada pelaksanaannya. Untuk itu, melalui diskusi bertajuk “Mewujudkan Sinergi Antar-Aparat Penegak Hukum dan Instansi Terkait”, KPK terus memperkuat sinergisitas dan harmonisasi antar-aparat penegak hukum (apgakum) dalam pemberantasan korupsi beberapa waktu lalu.

“Dalam koordinasi ini setidaknya memuat tiga hal penting yakni, pertama visi seluruh APH (aparat penegak hukum) adalah sama bahwa kita adalah anak-anak bangsa yang diamanahi untuk memberantas korupsi, kedua memahami posisi dan tugas fungsi masing-masing institusi, dan ketiga adalah untuk saling berbagi kelebihan dan menutupi kekurangan,” kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron.

Ghufron berharap ketiga hal tersebut dapat terbangun dengan lebih solid dan kuat dalam semangat bersama antarinstitusi pada upaya pemberantasan korupsi. Dikatakan Ghufron, tema Hakordia tahun ini, “Satu Padu Membangun Budaya Antikorupsi” diangkat KPK untuk mengajak dan mengingatkan kembali kepada seluruh elemen masyarakat bahwa korupsi sebagai musuh bersama. Untuk itu, korupsi juga harus dilawan dan diberantas secara bersama-sama. Perlawanan korupsi tersebut diantaranya dengan membangun pribadi dan karakter yang berintegritas, sehingga menumbuhkan budaya antikorupsi pada lingkup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

“Peringatan Hakordia yang diselenggarakan di berbagai wilayah di daerah ini bertujuan agar peringatan ini dirasakan dan dimiliki oleh semua elemen bangsa, sehingga mewujud semangat bersama dalam diri kita untuk pemberantasan korupsi,” katanya.

Ghufron mengatakan KPK bukanlah siapa-siapa tanpa dukungan dari berbagai pihak. Hal ini mengingat sumber daya manusia KPK terdiri dari berbagai unsur penegak hukum, kementerian/ lembaga hingga masyarakat sipil.

“KPK adalah lembaga perkawinan dari bapak ibu sekalian. Kami itu hadir tegak berdiri karena SDM-nya dari Polri, SDN-nya dari kejaksaan, SDM-nya dari BPKP dan banyak kementerian lain yang masuk di kami. Kami sesungguhnya adalah lembaga perkawinan dari bapak ibu sekalian dalam memberantas korupsi,” katanya.

Secara terpisah, Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi menilai sinergisitas dan soliditas aparat penegak hukum menjadi tantangan dalam pemberantasan korupsi. KPK dinilai belum mengoptimalkan kewenangan supervisi yang dimilikinya. Hal ini salah satunya tercermin dari penanganan skandal Joko Tjandra. KPK tidak melakukan supervisi dengan mengambil alih perkara jaksa Pinangki Sirna Malasari yang ditangani Kejaksaan Agung.

“Harusnya itu ditangani lembaga lain, Polri atau KPK. KPK yang memiliki kewenangan untuk mengambil alih karena ada kekhawatiran konflik of interest. Dan itu tidak dilakukan, setidaknya tidak diambil alih oleh KPK, dan supervisi juga tidak pernah dibuka ke publik. Akhirnya kalau kita baca dari putusan Pinangki misalkan, meskipun ada nama-nama pejabat tinggi Kejaksaan itu juga tidak ditangani oleh Jaksa. Ya bagaimana wong pimpinannya yang terlibat, kan tidak mungkin penyidik Jaksa berani memanggil pimpinannya, itu masalah conflict of interest,” kata Fachrizal, Rabu (8/12/2021).

Selain itu, Fachrizal juga menyoroti belum maksimalnya penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Padahal, instrumen hukum tersebut penting untuk memulihkan kerugian negara akibat korupsi. Mengutip data ICW, Fachrizal mengatakan hanya ada dua kasus yang menerapkan TPPU pada laporan penanganan perkara korupsi sepanjang semester pertama tahun 2021.

“Tidak banyak. Jadi kalau pencucian uangnya tidak banyak biasanya juga berkaitan dengan pengembalian kerugian keuangan negara,” katanya.

Fachrizal mengakui, belum maksimalnya asset recovery lantaran hingga kini Indonesia belum memiliki UU Perampasan Aset. Untuk itu, katanya, dibutuhkan political will dari pemetintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan yang sudah lama mengendap tanpa pembahasan lebih lanjut.

“Memang kita kan belum punya Undang-Undang Perampasan Aset ya. Itu juga jadi masalah jadi tidak bisa optimal Kejaksaan, Polri maupun KPK itu menyita harta koruptor karena undang-undangnya belum ada, dan ini butuh political will dari DPR ya. Dan, kayaknya selalu miss untuk dibahas,” katanya.

Di samping pemulihan kerugian negara, Fachrizal menekankan, yang tak kalah penting dalam penindakan korupsi adalah mengusut tuntas hingga mengungkap siapa saja aktor berkualitasnya. Hal ini mengingat korupsi tidak mungkin dilakukan seorang diri. Korupsi, pasti dilakukan secara berjamaah karena mencuri uang rakyat yang pengelolaannya berada dalam sebuah sistem.

“Sistem butuh kolaborasi, butuh koordinasi, butuh pemufakatan dengan orang lain dengan pejabat yang lebih tinggi, dengan tokoh politik yang lebih berkuasa dan sebagainya. Ini makanya extraordinary crime itu kan ada alasannya karena yang terlibat itu kan aktor-aktor politik yang punya kekuatan. Penyidikan yang berkualitas ini kalau dia bisa menyibak aktor-aktor di balik korupsi ini,” tegasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *