Pembasahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 tentang TNI dinilai tak bertentangan dengan semangat Reformasi. Sebab, amendemen yang dilakukan bersifat terbatas.
“Revisi uu TNI tidak menyalahi semangat Reformasi, karena hanya mengatur penugasan TNI di wilayah jabatan operasional profesional kementerian lembaga,” kata eksponen gerakan mahasiswa 1998, Yogyakarta, Haris Rusly Moti, melalui keterangan tertulis, Selasa, 18 Maret 2025.
Keyakinan revisi UU TNI tak akan mengembalikan militerisme berdasarkan sejumlah pertimbangan. Di antaranya, amendemen dilakukan oleh lembaga tinggi negara DPR yang merupakan representasi kehendak sipil. Anggota DPR berasal dari banyak partai politik (parpol).
“Parpol merupakan organisasi politik sipil,” ungkap dia.
Di sisi lain, TNI tidak lagi memiliki kewenangan terlibat langsung membuat peraturan yang mengatur kelembagaannya sendiri seperti era Orde Baru. TNI hanya dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan revisi UU.
“Sepanjang era Reformasi, TNI membuktikan dirinya tunduk pada keputusan lembaga negara yang dikendalikan oleh sipil. Kenyataan itu menunjukan bahwa supremasi sipil bahkan tampak nyata di depan jidat dan dengkul kita ketika sedang berlangsung revisi UU TNI,” sebut dia.
Dia menjelaskan, TNI sekarang berbeda dengan Orde Baru (Orba). Pada saat itu, ABRI memiliki peran sosial politik (sospol), di mana ada jabatan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR RI.
Menurut dia, dwifungsi ABRI terjadi lantaran berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik selain alat pertahanan negara. Yakni, menjadi dinamisator dan stabilisator politik, konduktor, dan terlibat langsung dalam membuat keputusan politik kenegaraan. Termasuk keputusan yang mengatur tugas pokok dan fungsi ABRI.
“Begitulah era supremasi militer, di mana kekuatan sipil tunduk diatur secara sosial dan politik oleh militer. Sementara saat ini ada pilkada, pilpres dan pileg langsung, di mana institusi sipil seperti parpol yang memainkan peran sentral,” sebut dia.
Haris menilai revisi UU TNI hanya mengatur terkait penugasan perwira TNI di wilayah operasional kementerian dan lembaga negara. Justru, penempatan personel aktif TNI di jabatan sipil berdasarkan meritokrasi.
“Karena yang ditugaskan adalah perwira profesional yang mempunyai kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga. Perlu dicatat perwira-perwira TNI tersebut disekolahkan dengan biaya oleh negara, mestinya negara dapat memaksimalkan keahliannya untuk terlibat memajukan kesejahteraan rakyat,” ujar dia.
Haris mengatakan , perwira TNI sudah sering kali ditugaskan di jabatan profesional operasional kementerian dan lembaga sebelum revisi UU TNI dilakukan. Tujuannya, membantu jalan program pembangunan.
Contohnya, almarhum Letjen TNI (Purn) Doni Monardo. Saat pandemi, Doni ditunjuk jadi Kepala Satgas Covid.
“Jenderal Doni diangkat dan tunduk pada keputusan presiden RI, pejabat sipil. Jadi menurut saya, revisi UU TNI dilakukan agar penempatan perwira TNI yang dibutuhkan kapasitas dan keahliannya, terutama yang terkait dengan pertahanan negara, mempunyai landasan hukum atau tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata dia.
Selain itu, Haris memaklumi protes yang disampaikan berbagai aktivis LSM karena cara berpikirnya cenderung dikotomi dan parsial dalam melihat tata kelola negara. Padahal, negara adalah sebuah sistem yang berdiri di atas banyak aspek dan saling menopang.
“Mestinya kita mulai belajar mempertimbangkan multiaspek, selain soal demokrasi dan hak-hak sipil, ada aspek pertahanan dan keamanan yang juga menopang sebuah negara dapat bertahan, juga patut menjadi pertimbangan dalam mengkritisi tata kelola negara,” ujar dia.