Revisi UU 21/2001 junto UU 35/2008 tentang Otonomi Khusus Papua bertujuan memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah untuk merawat Papua dalam kerangka Negara Kesatuan RI (NKRI). Namun, upaya revisi ini telah mengundang perdebatan atau polemik akibat perbedaan pandangan dan pendapat.
Papua menilai pemerintah pusat sewenang-wenang merevisi tanpa melibatkan peran mereka.
Sebaliknya,
pemerintah pusat menyatakan bahwa mereka telah melakukan komunikasi
dengan Papua. Pernyataan pemerintah pusat ini didasarkan Surat Menteri
Dalam Negeri pada 12 Juli 2019 yang berisi permintaan agar Pemprov
Papua, dalam hal ini Gubernur, menyiapkan rancangan perubahan UU Otsus
berkenaan dengan tahun 2021 berakhirnya Dana Otsus (2% setara Dana
Alokasi Umum nasional).
Surat Mendagri tersebut tidak memperoleh tanggapan dari Papua. Bahkan pada Oktober tahun yang sama, surat itu kembali dikirimkan sebagai penegasan tentang agenda perubahan UU Otsus.
Selain itu kunjungan kerja beberapa pejabat dari Kementerian Dalam Negeri pun dalam pertemuan dengan jajaran Pemprov Papua telah mengingatkan mengenai agenda revisi. Tak cuma itu, dari Papua sendiri termasuk dari Papua Barat, kalangan akademisi dan beberapa tokoh juga telah mengingatkan bahwa 2021 adalah berakhirnya Dana Otsus, dan bersamaan momentum ini akan dilakukan perubahan terhadap Otsus Papua. Jadi sebenarnya bukan berita baru mengenai rencana revisi Otsus Papua. Tapi itulah realitas politik yang kita hadapi sehubungan dengan revisi kali ini.
Inisiatif Pusat
Kalau kemudian pemerintah pusat
mengambil inisiatif revisi Otsus, menurut pendapat saya, rancangan
revisi yang mencakup dua pasal yaitu Pasal 34 tentang keuangan dan Pasal
76 mengenai pemekaran wilayah memang itu adalah langkah yang mesti
dilakukan oleh pusat. Sebab, sejak 2019 masalah ini telah
dikomunikasikan kepada Papua.
Alasannya tak ada tanggapan dari Jayapura, responsnya tak ada, cenderung diam dengan tuntutan agar draf Otsus Plus yang pernah diajukan pada akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014 mesti dikembalikan oleh DPR. Pada level ini saya dapat memahami makna yang terkandung di balik tuntutan Gubernur Papua Lukas Enembe. Saya setuju dengan sikap politik Gubernur Papua, untuk mengembalikan draf yang telah dibahas Komisi II DPR periode 2009-2014. Sikap ini dari hasil diskusi saya dengan dua guru besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih beberapa waktu lalu, yang terlibat dalam penyusunan draf Otsus Plus tersebut.
Kini, pusat mengambil langkah seperti mengubah Pasal 34 mengenai keuangan dengan mengakomodasi kenaikan Dana Otsus dari 2% menjadi 2,25% dari DAU, dengan nominal yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebesar Rp 354,6 triliun. Hal itu terungkap rapat dengan DPD dan rapat maraton selama dua hari berturut-turut pada akhir Januari lalu di Badan Legislasi DPR.
Pada pertemuan itu, pemerintah pusat diwakili Menko Polhukam, Mendagri, Menkumham, Menteri Keuangan, dan Ketua KPK. Kehadiran mereka menunjukkan betapa pentingnya “mobilisasi” dalam rangka revisi Otsus sehingga Presiden memerintahkan para pembantunya dan Ketua KPK agar mengamankan kebijakan revisi Otsus.
Presiden bertanggung jawab mengatur dan merawat Papua pada periode kedua Otsus agar terjadi peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan kesetaraan yang mesti dicapai oleh masyarakat terutama bagi orang asli. Pengalaman empiris memperlihatkan, selama 20 tahun pertama Otsus (2001-2021) bahwa mayoritas orang asli Papua masih jauh kehidupannya dari tujuan penyelenggaraan Otsus. Keadaan ini tentunya menjadi evaluasi dan koreksi oleh pemerintah pusat.
Berpotensi Melanggar
Permasalahannya adalah komitmen Presiden untuk melakukan revisi semestinya mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut. Pertama,
apakah dengan mengalokasikan Dana Otsus dari 2% menjadi 2,25% dari DAU
menjadi jaminan terhadap upaya penyelesaian masalah Papua. Kedua,
apakah dengan revisi terbatas Otsus melalui perubahan Pasal 34 dan 76
UU Otsus, yang juga mengatur pemekaran wilayah, menjadi garansi
berakhirnya kekerasan dan konflik di tanah Papua.
Pertanyaan-pertanyaan itu perlu didiskusikan bersama dengan mengundang Pemprov Papua dan stakeholders terkait melalui DPR yang sekarang memegang bola revisi agar mengakomodasi pemikiran dan usulan dari daerah. Ini dimaksudkan supaya revisi kelak tidak menimbulkan bias, baik pada level UU-nya maupun implementasi di lapangan seperti pengalaman 20 tahun pertama Otsus Papua.
Kompromi antara pemerintah pusat dan Papua mesti menjadi keputusan bersama. Revisi tidak hanya meliputi dua pasal, apalagi perubahan pasal 76 mengenai pemekaran wilayah yang tadinya hanya satu ayat kini dijabarkan menjadi tiga ayat. Ayat (3) memberikan kewenangan kepada pusat secara otoritatif membentuk provinsi-provinsi di Papua tanpa ada konsultasi dengan DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Ini juga berpotensi mengabaikan ketentuan dan syarat pembentukan daerah otonomi baru (DOB) menurut UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan mengesampingkan pembentukan provinsi-provinsi di Papua dari kedua syarat yang termaktub dalam kedua UU itu menunjukkan pemerintah pusat telah meniadakan salah satu roh dan semangat Otsus Papua. Tak hanya itu, Presiden juga berpotensi melanggar kedua ketentuan dari kedua UU itu kelak revisi ini ditandatanganinya. Menurut saya, sadar atau tidak Presiden telah digiring oleh para pembantunya untuk melanggar sumpah dan janji.
Masih ada peluang tercapainya kesepakatan bersama antara pemerintah pusat, Papua, dan DPR selaku lembaga perwakilan, untuk memfasilitasi agar usulan daerah untuk memperkaya revisi Otsus. Ini merupakan jalan terbaik. DPR mesti memberikan peluang agar ada diskusi dan dialog dengan mendengar masukan dan serta rekomendasi dari Papua, sehingga revisi kali ini menjadi tonggak sejarah untuk membangun dan merawat masyarakat dan wilayah Papua dalam kerangka NKRI.
Revisi Otsus kali ini menjadi momentum istimewa agar perbaikan tidak saja pada level yuridisnya, tapi juga cara kita mengatur dan mengurus masyarakat dan daerah ini. Saya mengingatkan UU Otsus adalah UU politik yang taruhannya adalah menyangkut eksistensi dan keberlanjutan masa depan NKRI.