PPATK: Pemberantasan Terorisme dan Pelacakan Dana Teroris Harus Paralel

Mediatugu.com –Upaya pemberantasan terorisme dan pelacakan dana teroris harus dilakukan secara paralel. Sebab pendanaan merupakan “aliran darah” yang dapat menghidupi kegiatan terorisme.

Hal itu dikatakan Kepala PPATK Dian Ediana Rae, pada saat diskusi daring bertajuk “Modus Donasi dalam Pendanaan Teror di Era Covid-19”, yang digelar BPET Majelis Ulama Indonesia, Jumat (13/8/2021).

“Upaya kita melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme maupun pendanaan terorisme itu dilakukan secara paralel. Karena memang ini salah satu petunjuk secara global yang diberikan juga oleh PBB, upaya-upaya pemberantasan terorisme itu tidak bisa dipisahkan dari upaya memberantas pendanaan terorisme. Ini merupakan suatu prinsip-prinsip baru yang dikembangkan, bahwa ketika memberantas kejahatan terorisme, maka harus diberantas pendanaan terorismenya karena ini merupakan suatu, bisa dikatakan aliran darah yang bisa menghidupi kegiatan terorisme,” ujar Dian.

Dian menyampaikan, dewasa ini terorisme yang kita hadapi sangat terpengaruh dengan masalah ideologi sehingga tidak memiliki target tertentu. Berbeda dengan zaman dahulu yang sangat jelas sasarannya.

“Ideologi tentu adanya di hati dan kepala kita, ini tantangan yang terbesar saya kira yang kita hadapi karena membubarkan organisasi itu tidak serta merta menghilangkan sebetulnya ideologi para pengikutnya. Sekarang dengan ideologi, persoalan seperti ini tidak mudah sehingga kita perlu melakukan langkah-langkah yang komprehensif secara politis, secara sosial, secara ekonomi, yang memang memerlukan kerja sama kita semua,” ungkapnya.

Terorisme yang berbasis ideologi, tambah Dian, penyelesainnya sulit dan selalu berujung dengan kekerasan. “Ini merupakan satu hal yang menurut saya menjadi isu persoalan kita. Jadi kalau dibilang di mana sih kita pertarungannya? Ya dimana-mana pertarungan dengan ideologi seperti ini. Mungkin juga di dalam keluarga sendiri ketika orang-orang terekspose dengan ideologi radikal atau ideologi tertentu,” katanya.

Dian menyampaikan, laporan yang diterima PPATK terutama dari perbankan, laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK ini cukup lumayan besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016, tercatat ada 340 laporan. Namun, pada tahun 2020 sudah mencapai angka 1.122.

“Ini laporan transaksi keuangan yang terkait dengan masalah pendanaan terorisme. Ini perkembangannya bukan mundur, tetapi berkembang secara signifikan. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa memang persoalan-persoalan yang terkait dengan terorisme dan pendanaan terorisme, di Indonesia bisa dikatakan masih cukup serius,” jelasnya.

Dian melanjutkan, menurut data statistik terkait hasil analisis dan pemeriksaan yang dilakukan PPATK kepada berbagai laporan transaksi keuangan yang mencurigakan itu disimpulkan kalau perkembangannya juga lumayan tinggi.

“Kalau tahun 2016 PPATK itu hanya menyampaikan 36 hasil analisis dan pemeriksaan kepada Densus 88, kemudian Badan Intelijen Negara dan BNPT. Namun tahun 2020, jumlahnya meningkat menjadi 99 hasil analisis dan hasil pemeriksaan,” katanya.

Dian menuturkan, data-data itu berbicara secara faktual. PPATK selalu menyampaikan berdasarkan hasil analisis dan pemeriksaan serta tracing keuangan. “Kita tidak bisa berspekulasi, tidak bisa menginterpretasikan secara politik, bahwa ini adalah fakta-fakta saja yang ada di lapangan. Ini data-data yang memberikan alert, perlu kita lebih waspada terkait perkembangan ini.”

Dian menjelaskan, posisi Indonesia menurut Global Terrorism Index, pada tahun 2020, berada di ranking 37 dari 136 negara di seluruh dunia dengan total skor 4.629 kategori medium.

“Secara populasi kita ini bisa dikatakan masuk medium sehingga kita tidak ekstrim seperti negara-negara tertentu. Tetapi kita ini adalah peringkat keempat di Asean setelah Filipina, Thailand dan Myanmar yang kita tahu negara-negara ini sangat kental dengan persoalan-persoalan terorisme. Ini saya kira merupakan suatu data internasional yang juga hampir bisa dikatakan paralel dengan data dan informasi yang kami sampaikan,” ucapnya.

Dian melanjutkan, secara spesifik karateristik pendanaan terorisme di Indonesia terjadi pergeseran landscape yang juga cukup signifikan. Kemudian secara risiko, menurut national risk assessment terhadap pendanaan terorisme yang disusun PPATK, Densus 88 dan BNPT menyimpukan, risiko pendanaan terorisme cukup lumayan signifikan.

“Kalau kita bedakan menjadi empat hal yang pertama itu adalah risiko tinggi berdasarkan pengumpulan dana, ini kita melihat karena ini ideologi tadi, maka terlibat juga adanya sponsor pribadi, pemberi dana teroris, terus ada penyimpangan pengumpulan donasi melalui ormas. Ormas menurut catatan PPATK banyak juga yang terindikasi sebetulnya kepada organisasi-organisasi tertentu. Kemudian usaha bisnis yang sah bisa juga dipakai memberikan pendanaan kepada kegiatan-kegiatan terorisme. Kemudian pengumpulan dana melalui media sosial, ini juga merupakan satu hal perlu kita cermati dengan baik, karena ada hal-hal negatif,” katanya.

“Kemudian, terkait risiko tinggi, terkait pemindahan dana teror, cara bagaimana uang itu dialihkan, kebanyakan memang masih melalui bank. Sekarang juga semakin meningkat itu pembawaan uang tunai lintas batas negara, kemudian cara penggunaan baru seperti paypal yang digunakan sebagai pendanaan teror bom di Surakarta misalnya, dan sekarang kami sudah mengindikasi adanya pendanaan menggunakan virtual assetvirtual currency,” tambahnya.

Pendanaan Buat Bikin Senjata dan Bahan Peledak
Dian mengungkapkan, risiko tinggi terkait penggunaan dana teroris itu untuk pembuatan senjata dan bahan peledak. “Kemudian pembiayaan perjalanan tujuan teoris asing, sebelumnya masih banyak orang Indonesia yang ikut serta berperan di berbagai tempat di Timur Tengah sana. Tetapi sekarang kita mengahadapi persoalan orang-orang yang mau kembali ke Tanah Air. Pembiayaan-pembiayaan untuk tujuan lain terkait dengan pemberian bantuan terhadap individu-individu yang terkait dengan individu yang dianggap keluarga dari pelaku teror yang sudah meninggal.”

Selain itu, Indonesia juga memiliki kategori ancaman tinggi terhadap pendanaan di domestik, luar negeri, serta pendanaan terorisme ke luar negeri. “Pada tahun 2020 ada tiga TKI Indonesia yang ditangkap dan dinyatakan bersalah sebagai penyandang dana ISIS,” katanya.

Terorisme di Masa Pandemi Covid-19
Khusus isu yang berkaitan dengan pandemi Covid-19, Dian menyampaikan, kondisi ini justru bisa dikatakan memberikan peluang organisasi teroris melakukan konsolidasi dan memperluas wilayah operasi mereka pada saat pemerintah dibanyak negara mengalihkan fokus terhadap penanganan krisis kesehatan masyarakat.

“Berbagai bentuk kegiatan yang dapat dilakukan organisasi terorisme diantaranya melakukan propaganda radikalisme dan upaya rekruitmen melalui media sosial, penghimpunan dana melalui media sosial dengan narasi yang kami catat sebagai berikut, bantuan kemanusiaan untuk bencana alam di Indonesia, bantuan kemanusiaan bagi masyarakat yang menderita Covid-19, bantuan keluarga teroris dan narapidana terorisme, kemudian bantuan kemanusiaan untuk korban-korban di negara dan wilayah konflik di luar negeri seperti di Suriah, Palestina dan sebagainya. Juga dukungan secara eksplisit kegiatan khilafah,” terangnya.

Kegiatan penggalangan dana melalui media sosial, kata Dian, berdasarkan pengamatan PPATK bisa dikatakan berhasil dalam menarik simpati masyarakat. “Kita tahu masyarakat kita itu sangat gemar berdonasi, sangat gemar beribadah. Berdasarkan index giving global itu selalu kita masuk 10 besar sebagai bangsa yang senang memberikan bantuan. Namun demikian, kami mendapatkan kurangnya transparansi di mana masyarakat cenderung tidak cukup terinformasi mengenai penyaluran dana.”

“PPATK menemukan indikasi bahwa terdapat sebagian penyelewengan dana untuk kepentingan lain, ini diantaranya untuk kepentingan bisnis dan investasi serta kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan narasi yang dipublikasikan di media sosial. Kemudian, penggalangan dana melalui media sosial juga menjangkau simpati masyarakat di luar negeri, terkait dengan WNI yang bekerja di luar negeri. Eksploitasi psikologi yang terkait dengan persoalan psikologis sangat mahir mereka mainkan dan narasikan,” tambahnya.

Dian menegaskan, berbagai upaya telah pemerintah lakukan untuk merespon risiko serta kondisi saat ini untuk meningkatkan efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme.

Menurutnya, salah satu yang paling penting adalah melaksanakan Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pemberian Sumbangan oleh Organisasi Kemasyarakatan dalam Pencegahan Tindak Pidana Terorisme.

“Ini prinsip bagus yang bisa dipegang kita semua. Prinsip yang diperkenalkan di sini adalah kalau kita mendapatkan bantuan tentu kita harus tahu datang dari mana, datang dari organisasi seperti apa, orientasinya kemana, ideologinya kemana. Memang kita harus betul-betul pahami sehingga kita tidak ikut terseret dengan masalah hukum. Ketika kita mau menyumbang kita juga harus tahu siapa yang kita sumbang, jadi sebaliknya,” katanya.

Kemudian terkait dengan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyatakan, setiap negara wajib menetapkan dan melaksanakan peraturan nasional untuk mencegah aksi non aktor negara memperoleh senjata pemusnah massal. “Ini salah satu isu lain yang kita khawatirkan seandainya teroris bisa memiliki akses terhadap senjata pemusnah massal, apalagi sekarang teknologi begitu berkembangnya,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *