mediatugu – Pengangkatan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj sebagai Komisaris PT KAI dinilai tidak tepat.
Hal ini diungkapkan oleh mantan Ketua Umum Angkatan Muda Nahdlatul Ulama (AMNU) HM Jusuf Rizal.
Saat ini, Jusuf mengatakan kondisi keuangan PT KAI sangat tertekan sehingga membutuhkan orang yang memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam bisnis transportasi kereta api.
Sementara KH Said Aqil Siradj dipandangnya tidak memiliki rekam jejak maupun pengetahuan cukup mengenai bisnis transportasi perkeretaapian.
“Jadi bagaimana mungkin, seorang Ketua PBNU disuruh mengawasi perusahaan perkeretaapian,” ujarnya, kepada wartawan,
Menurutnya, penunjukan KH Said Aqil Siradj sebagai Komisaris Utama PT KAI bisa mencederai marwah organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
“Erick Thohir ini keterlaluan. Secara politis, dia mau mengatur-atur Ketua PBNU. Ini ibarat ikan paus yang dimasukkan ke dalam aquarium,” tegasnya.
Diketahui, dalam rapat RDP dengan DPR pada 30 Juni 2020, Dirut PT KAI Didiek Hartyanto pernah mengungkapkan bahwa pendapatan PT KAI anjlok dari Rp23 miliar perhari menjadi Rp300-400 juta perhari.
Bahkan, PT KAI harus mendapatkan suntikan dana Rp3,5 triliun dari SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur) dalam bentuk investasi pemerintah, agar operasional PT KAI dapat kembali berjalan.
Di sisi lain, KH. Said Aqil Siradj juga masih menjabat Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dengan gaji per bulan Rp100.811.000 per bulan sesuai Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas lainnya bagi Pimpinan, Pejabat dan Pegawai BPIP.
Aktivis Jogja Corruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba menilai secara etika, seseorang yang punya rangkap jabatan dianggap tidak baik bagi publik, terutama bagi warga nahdliyin.
“Jika dilihat, memang ada dugaan rangkap jabatan yang diterima oleh KH Said Aqil Siradj ini,” tuturnya, dalam keterangan resminya
Menurutnya, rangkap jabatan yang kini dilakukan KH Said Aqil Siradj juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ketika merumuskan kebijakan.
“Jelas ini akan muncul konflik kepentingan nanti,” katanya.