Pemerintah melarang aktivitas ormas Front Pembela Islam (FPI). Pengamat intelijen menyebut FPI bertentangan dengan undang-undang negara. Aturan tersebut diputuskan melalui surat keputusan bersama (SKB) enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga.
Menanggapi hal tersebut, pengamat Intelijen Stanislaus Riyanta mengatakan pelarangan aktivitas ormas FPI merupakan tugas pemerintah. Apalagi, kata Stanislaus, dengan fakta-fakta yang ada bahwa kegiatan FPI bertentangan dengan Undang-undang negara.
“Pemerintah berhak menghentikan membubarkan dan melarang karena memang fakta-fakta menunjukkan FPI bertentangan dengan UU yang ada,” ujarnya seperti dikutip (Jawa Pos Group) di Jakarta, Kamis (31/12).
Meski FPI sudah resmi dilarang aktivitasnya, Stanislaus tetap mengimbau pemerintah untuk terus menjalin dialog dengan para tokoh agama. Hal tersebut, lanjutnya, untuk menciptakan hubungan antara pemerintah dan tokoh agama, sehingga harmonisasi dan kebhinekaan di Indonesia tercapai.
“Setelah bubarnya dan pelarangan FPI pemerintah harus terus menjalin dialog dengan berbagai komponen masyarakat termasuk tokoh dan ormas agama” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengatakan, pemerintah melarang dan membubarkan FPI. Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjelaskan, sejak 21 Juni 2019, FPI secara de jure telah bubar sebagai ormas.
Ia menyebutkan karena FPI belum memenuhi persyaratan untuk memperpanjang surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai ormas hingga kini di Kemendagri.
Sementara itu, lanjut guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) itu masa berlaku SKT FPI yang sebelumnya hanya berlaku hingga 20 Juni 2019.
“Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan putusan MK Nomor 82 PUU 11 Tahun 2013 tertanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktivitas FPI,” Jelas Mahfud dalam keterangan persnya, Rabu (30/12).