Oleh: Dr. Indra Iskandar
Mediatugu.com – Presiden Joko Widodo dalam sambutan memperingati Hari Kesaktian Pancasila, Selasa (1/6/021) di YouTube Sekretariat Negara mengingatkan bangsa Indonesia agar berhati-hati terhadap ekspansi ideologi transnasional radikal.
“Walaupun Pancasila telah menyatu dalam kehidupan kita sepanjang Republik Indonesia ini berdiri, tantangan yang dihadapi Pancasila tidaklah semakin ringan. Globalisasi dan interaksi antarbelahan dunia tidak serta-merta meningkatkan kesamaan pandangan dan kebersamaan,” kata Presiden Jokowi.
Lebih jauh Presiden ke-7 Republik Indonesia ini mengingatkan bahwa kita harus waspada terhadap meningkatnya ideologi transnasional radikal, yang kini sudah memasuki berbagai lini kehidupan masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempercepat dan memperluas penyebaran ideologi transnasional radikal tersebut.
Tepat sekali apa yang dikatakan Presiden dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila di atas. Sebab bangsa Indonesia, saat ini, sudah berada di “ambang” jurang bahaya radikalisme. Ya, radikalisme adalah bagian dari tahapan terorisme. Urutannya: intoleran dulu, lalu radikalisme, kemudian terorisme.
Menurut pakar terorisme, Haryoko R Wirjosoetomo, saat ini Indonesia sudah berada di ambang “negeri” radikal seperti Afghanistan dan Pakistan. Di kedua negeri ini, sering terjadi kekerasan dan pembunuhan hanya karena masalah perbedaan “paham agama” yang tidak signifikan.
Di Afghanistan, misalnya, ada wanita yang menolak pakai jilbab, wajahnya disiram air keras. Orang mengritik suara azan yang keras karena mengganggu tidur, langsung dianggap menghina Islam. Akibatnya ia dibantai kelompok Islam radikal.
Dunia terkejut ketika gadis kecil asal Pakistan, Malala Yousafzai, nyaris tewas ditembak milisi Taliban, tahun 2012. Kesalahannya, Malala mengampanyekan pentingnya anak perempuan mengenyam pendidikan. Di mata kaum radikal Islam Taliban, perempuan harus di rumah. Melayani suami. Tidak perlu berpendidikan.
Hampir tiap hari peristiwa yang terkait intoleransi, radikalisme, dan terorisme terjadi di Pakistan dan Afghanistan. Jumlah kaum radikal di Pakistan dan Afghanistan sudah melampaui ambang batas. Lebih dari 10 persen, kata Haryoko.
Dampaknya, radikalisme dan terorisme sulit dibendung. Ini karena pertambahan populasi kaum radikalnya sudah mengikuti deret ukur. Dalam kondisi ini, negara pun sulit melawan mereka.
Akankah Indonesia menjadi negeri “radikal” seperti Afghanistan dan Pakistan? Saat ini, kata Haryoko, populasi kaum radikal di Indonesia sudah mencapai 7 persen. Tinggal sedikit lagi, atau 3 persen, mencapai ambang batas. Jika ambang batas (10 persen populasi) ini tercapai — bukan tidak mungkin kondisi Indonesia akan seperti Pakistan dan Afghanistan.
Kenapa pertambahan populasi kaum radikal di Indonesia sangat cepat? Bukankah Islam di Indonesia terkenal ramah, toleran, dan menghormati keyakinan orang beragama lain?
Haryoko menjawab: Inilah dampak sosial media (sosmed). Haryoko menyatakan kekerasan, radikalisme, dan terorisme zaman sekarang tumbuh cepat karena ajaran-ajaran ustad dan penceramah instant di sosial media. Mereka, para ustad tersebut, mengajarkan Islam radikal di sosmed. Ajaran Islam radikal ini berasal dari ideologi transnasionalism. Bukan dari mazhab-mazhab yang dianut umat Islam Indonesia seperti Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Sasaran ustad instant di sosial media tersebut adalah kaum milenial. Mereka bukan anak pesantren atau anak yang pernah mendapat pendidikan Islam secara luas dan mendalam. Karena itu mereka mudah terpengaruh ajaran Islam radikal.
Haryoko menyebut, kaum milenial yang terpapar ajaran agama radikal itu dengan istilah millennialism violence (MV). Istilah ini, ujar Haryoko, lebih netral. Maksudnya, bukan hanya kaum milenial muslim yang terpapar radikalisme — tepatnya violenisme — tapi juga kaum milenial agama lain seperti kaum muda Hindu di India dan Srilanka.
Generasi milenial, kata Haryoko, mendapatkan pelajaran yg sesat dari para ustad instan tadi. Kata sebagian para ustad instant sosmed: “Bahwa kehidupan ideal yang indah dan nikmat hanya ada di sana, di akhirat. Di sana ada pesta seks. Tiap laki laki dapat 70 bidadari cantik. Mau apa pun ada. Semua kenikmatan tersedia di sana.”
Bagaimana meraih semua kenikmatan itu? Jawab ustad instant itu, Ikuti kitab suci. Apa adanya. Jangan bicara rasionalisme. Turuti saja kitab suci secara tekstual. Karena, hanya itulah kebenaran yang akan mengantarkan manusia ke surga penuh kenikmatan. Tahun demi tahun, gerakan raih sorga itu berkembang. Namanya macam macam. Tapi tujuannya sama. Mendirikan negara berdasarkan agama.
Demi meraih surga inilah kaum MV melakukan hijrah. Sebagian dari mereka pergi ke Siria. Ke Libya. Ke Irak. Dan lain-lain. Untuk mati syahid. Lalu masuk surga.
Mereka juga hijrah dari Pancasila ke agama oriented based yang radikal. Ada yg berjuang melalui jalur politik. Jalur pendidikan. Dan, jalur bisnis. Hasilnya, kini generasi milenial yg terpapar radikalisme mencapai 7 persen. Angka ini akan terus naik. Jika mencapai 10 persen, kondisinya akan sangat berbahaya. Karena pertambahannya sudah deret ukur. Sulit dibendung.
Lihat masjid-masjid BUMN. Kini sebagian besar sudah jadi “hub” kaum milenial kanan. Lihat kampus kampus besar. Kini sudah mulai diduduki kaum milenial eksklusif yang ingin menjadikan Indonesia negara agama.
Fenomena semacam itu kini muncul di mana-mana. Sejumlah BUMN kini sudah banyak yang karyawannya terpapar MV. Begitu juga karyawan perusahaan asing. Jika pemerintahan Jokowi lengah, kondisi seperti di Suriah dan Afghanistan akan benar benar terjadi di Indonesia.
Haryoko bercerita tentang jejak digital dari ujaran kaum milenial di medsos yang pernah ia lakukan untuk merekrut karyawan perusahaan multinasional. Hasilnya, Indonesia sudah di ambang SOS dalam hal MV atau radikalisme kaum milenial.
Produser MV kini sudah merajalela dan menancapkan akarnya di hampir setiap institusi negara dan swasta.Jadi jangan heran kalau ada profesor sains dan teknologi terpapar MV. Juga direksi BUMN, perwira tinggi, dan dokter. Itu fenomena merata yg ada di mana-mana. Kondisinya sudah mencemaskan.
Dari gambaran di atas, apa yang dinyatakan Presiden Jokowi di Hari Kesaktian Pancasila, tepat sekali. Indonesia saat ini sudah berada di ambang tebing bahaya radikalisme. Kondisi ini harus dicegah. Jangan sampai Indonesia menjadi “Indonistan”.
Bagaimana solusinya? Kita harus menekankan pendidikan dan ajaran agama yang moderat. Islam moderat. Kristen moderat. Hindu moderat. Dan ideologi lain yang moderat. Pemahaman agama moderat ini mempunyai ruang untuk mengembangkan toleransi. Di situlah letak pentingnya menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila.
Pancasila adalah sebuah ideologi bangsa Indonesia yang memuat ajaran Ketuhanan yang inklusif; ajaran agama yang toleran, moderat, humanis; dan ideologi nasionalisme inklusif dan demokratis yang mengedepankan keadilan. Karena itu Pancasila merupakan ideologi yang mampu menepis radikalisme. Itulah hebatnya Pancasila. (*)
Penulis adalah Sekjen DPR R