Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak elite politik untuk mewujudkan pemilu damai dan bermartabat dengan kepemimpinan moral. Publik perlu lebih banyak mendengar soal visi kebangsaan dan komitmen berkompetisi secara bermoral dari para kontestan. Kepemimpinan moral krusial agar kontestasi Pemilu 2024 tak sekadar menjadi ajang perebutan kekuasaan.
Sembilan bulan menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, nuansa politik di ruang publik terasa kian kuat. Sejumlah partai politik (parpol) dan gabungan parpol telah mendeklarasikan bakal calon presiden (capres) yang bakal diusung meski waktu pendaftaran peserta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 masih lima bulan lagi. Pertemuan antarelite untuk membangun koalisi kian gencar, begitu pula sosialisasi publik yang mulai masif.
Dalam konteks tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan, publik membutuhkan lebih banyak gagasan mengenai visi dan agenda kebangsaan yang diusung para kontestan. Komitmen untuk berkompetisi secara bermoral, bersih, dan menghindari polarisasi masyarakat juga perlu terus disampaikan.
”Kami tidak mengatakan itu belum ada saat ini, tetapi kami ingin melihat lebih banyak, dan untuk itu, butuh kepemimpinan moral,” kata Yahya seusai menerima kunjungan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Haedar yang didampingi sejumlah pengurus PP Muhammadiyah, di antaranya Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas, Saad Ibrahim, dan Agus Taufiqurrahman bersilaturahmi untuk memperkenalkan pengurus PP Muhammadiyah hasil Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, Jawa Tengah, November 2022.
Mereka diterima langsung oleh Yahya dan para pengurus PBNU, di antaranya Ketua PBNU Amin Said Husni. Sebelumnya, jajaran PBNU juga berkunjung ke Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, seusai Muktamar ke-34 NU, akhir 2021.
Yahya menambahkan, dalam pertemuan selama dua jam itu, NU dan Muhammadiyah sepakat untuk mendorong kepemimpinan moral dalam kontestasi Pemilu 2024. Kedua organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan terbesar di Indonesia itu juga akan mengambil peran, yakni dengan memberikan keteladanan sikap dan seruan terkait kepemimpinan moral.
Haedar menambahkan, kepemimpinan moral yang dimaksud merupakan komitmen untuk mengedepankan moralitas dan visi kebangsaan yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa. Konsep itu diharapkan bisa mengarahkan kontestasi elektoral sehingga siapa pun yang nantinya terpilih, baik dalam pilpres maupun pemilihan anggota legislatif (pileg), merupakan sosok yang memahami masalah, standar baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas dalam politik.
”Kepemimpinan moral itu sangat krusial agar (kontestasi) tidak hanya bersifat siapa mendapatkan apa dan bagaimana caranya,” ujar Haedar.
Sejauh ini, menurut Haedar, para politisi terus berupaya untuk mendapatkan konsesi politik lewat pembangunan koalisi. Berbagai pernyataan kompetitif juga kerap keluar dari para elite. Dalam politik praktis itu memang hal yang wajar. Namun, jika semakin intens dan menjadi pola pikir, kontestasi yang berlangsung berpotensi tidak konstruktif.
Oleh karena itu, Muhammadiyah dan NU mendorong agar semua kontestan dan calon kontestan mengelaborasi visi kebangsaan. Mereka perlu membawanya ke ruang publik agar bisa menjadi bahan diskusi politik secara luas agar masyarakat memahami arah kepemimpinan yang ditawarkan.
”Ada tanggung jawab moral setiap elite untuk membuat pernyataan dan langkah-langkah yang tidak mengarah pada polarisasi karena harganya terlalu mahal. Di situlah kami ingin bersama-sama menghadirkan kepemimpinan moral dan visioner,” ujar Haedar.
Selain membicarakan politik kebangsaan, pimpinan Muhammadiyah dan NU juga sepakat untuk mendorong strategi ekonomi nasional yang berkeadilan. Tak hanya itu, sebagai entitas gerakan keagamaan, keduanya juga berkomitmen memandu umat beragama untuk menghargai keberagaman. Hal tersebut akan ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan konkret secara bersama-sama.