Netralitas ASN Dalam Pilkada

Yogyakarta – Tahapan kampanye dalam Pilkada Serentak 2020 dimulai pada 26 September 2020. Hal yang berbeda dari proses demokrasi sebelumnya yaitu adanya penerapan pencegahan Covid-19, yang secara eksplisit diatur dalam peraturan KPUNomor 6 Tahun 2020.

Pada tahapan ini, kerentanan yang sering dimanfaatan oleh pasangan calon yaitu terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).

Di DIY, ada tiga kabupaten yang menyelenggarakan pemilihan, yaitu dengan jumlah 8.018 ASN, Sleman 11.266 ASN, dan Gunungkidul dengan 10.101 ASN (data BPS). Muncul pertanyaan; mengapa ASN cenderung dimanfaatkan dalam setiap perhelatan demokrasi (pemilu dan pilkada)?

Ada beberapa alasan yang mendasari hal itu, misalnya saja tingkat pendidikan dan pengetahuan yang memadai, jaringan yang luas, pengaruh kuat (baik dalam keluarga, kelompok, dan masyarakat), dan yang paling pokok yaitu memiliki fungsi strategis dalam mengakses anggaran pemerintah. Pada poin yang terakhir, hal ini diyakini akan mempermudah pelaksanaan kampanye melalui pemanfaatan fasilitas negara (akomodasi, transportasi, dan kewenangan).

Di lain sisi, ASN memiliki pengetahuan terkait kondisi permasalahan maupun potensi yang ada di daerah. Pengetahuan dan pengalaman tersebut bisa jadi digunakan oleh paslon untuk menyusun visi dan misi kandidat, khususnya bagi petahana. Hal ini berakibat pada terselubungnya kampanye dalam desain kebijakan.

Aspek

Menurut UU Nomor 5 Tahun 2014, khususnya penjelasan Pasal 2 huruf f, netralitas yang dimaksud yaitu bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Dijelaskan juga bahwa aspek netralitas ASN meliputi netral dalam politik, netral dalam pelayanan publik, netralitas dalam pelayanan publik, netralitas dalam pemuatan kebijakan dan manajemen ASN.

Mengutip pernyataan La Ode Muh Amin terkait netral dalam politik, ada beberapa indikator, yaitu tidak terlibat dalam arti tidak menjadi tim sukses calon kandidat pada masa kampanye atau menjadi peserta kampanye, baik dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS (Pengawasan Netralitas ASN, 2018).

Tidak memihak, dalam arti tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu paslon, dan tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu paslon kepala daerah/wakil kepala daerah pada masa kampanye.

Ini meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkup kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Serta, tidak membantu dalam menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam rangka pemenangan salah satu paslon pada masa kampanye.

Menurut SE Menpan RB Nomor B-94/SM.00.00/2019, ASN dilarang untuk melakukan kegiatan:

1) kampanye/sosialisasi di media sosial (posting, comment, share, like);

2) menghadiri deklarasi pasangan bakal calon/calon peserta pilkada;

3) berfoto bersama bapaslon/paslon dengan mengikuti simbol gerakan tangan/gerakan yang mengindikasikan keberpihakan, maupun menjadi narasumber dalam kegiatan parpol (kecuali dalam rangka tugas kedinasan, disertai dengan surat tugas dari atasan);

4) melakukan pendekatan ke parpol dan masyarakat (bagi calon independen) untuk memperoleh dukungan terkait pencalonan ASN bersangkutan dalam pilkada namun tidak cuti di luar tanggungan negara;

5) mendeklarasikan diri sebagai paslon kepala daerah/wakil kepala daerah tanpa cuti di luar tanggungan negara;

6) memasang spanduk/baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah;

7) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, dan pembagian barang), termasuk penggunaan barang terkait jabatan atau milik pribadi untuk kepentingan bapaslon atau paslon;

8) ikut sebagai pelaksana sebelum atau sesudah kampanye; 9) menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut dan mengerahkan PNS atau orang lain;

10) mengikuti kampanye bagi suami atau istri calon kepala daerah yang berstatus sebagai ASN dan tidak mengambil cuti diluar tanggungan negara;

11) memberikan dukungan kepada caon kepala daerah (calon independen) dengan memberikan KTP;

12) ikut sebagai peserta kampanye dengan fasiltas negara;

13) menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;

14) membuat keputusan yang dapat menguntungkan /merugikan pasangan calon selama masa kampanye;

15) menjadi anggota atau pengurus partai politik.

Pada sisi yang lain, sebetulnya UU Pemilihan telah secara tegas mengatur sanksi terhadap pelanggaran netralitas ASN. Hal ini termaktub dalam Pasal 188 UU Pemilihan yang menyebutkan:

“Setiap pejabat negara,pejabat aparatur sipil negara, dan kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp600.000 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000 (enam juta rupiah)”.

Dengan berbagai instrumen yang telah membatasi ruang gerak bagi ASN untuk terlibat politik praktis tersebut, harapan ke depan, ASN tidak menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon kepala daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *