Masyarakat Damai Yogyakarta Tolak Politisasi Agama di Pemilu 2024

Pengalaman penting pada Pilkada DKI 2012, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 telah mengajarkan betapa rentannya masyarakat Indonesia terhadap ayunan politisasi yang dimainkan oleh poros-poros kekuasaan di negeri ini.

Pada saat yang sama, telepon cerdas yang muncul di tahun 2010 dengan cepat melahirkan gegar digital di tengah masyarakat.

Hal itu dinyatakan oleh Dosen HI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Tulus Warsitopada acara Obrolan Santai Bersama Masyarakat Yogyakarta di Hotel Merapi Merbabu, Jumat (10/3/2023).

Menurutnya, rapuhnya budaya baru berkomunikasi yang belum terbangun di satu sisi dan kuatnya energi kepentingan yang bekerja di balik perkubuan politik menjadikan tiga rangkaian pemilu di atas laksana pusaran badai politik identitas di Indonesia.

Tema Obrolan Santai tersebut sesuai dengan apa yang ia bahas dengan beberapa narasumber lainnya yaitu “Menolak Politisasi Agama di Wilayah DIY Menjelang Pemilu 2024”.

Tutus Warsito menyinggung, pilihan elit menggunakan politisasi identitas sebagai sarana mobilisasi politik yang menerjang hampir semua norma kesantunan sosial di masyarakat. 

“Ada empat hal yaitu menunjukkan tingginya pragmatisme politik para elit politik di negeri ini, kedua, betapa rendahnya etika politik di Indonesia, ketiga, lemahnya daya kritis publik atas manipulasi politik identitas dan keempat adalah lemahnya social trust dan jejaring mitigasi melalui komunikasi, nilai hidup bersama dan konsolidasi sosial antar warga,” tegas Prof Tulus. 

Tutus Warsito menilai, pembangunan masyarakat politik yang sehat adalah dengan berpusat pada pembangunan kepartaian yang etis, akuntabel dan juga transformatif, maka hal ini sangat mutlak dilakukan ke depan bila berharap akan pemilu yang lebih berkualitas di negeri ini.

Tantangan Intoleransi Menurut Mantan Rektor UJB

Menanggapi isu toleransi, Mantan Rektor Universitas Janabadra (UJB) Yogyakarta, Prof Cungki Kusdijarto menyebut, persoalan intoleransi masih menjadi pekerjaan besar yang tak terselesaikan di negeri ini.

Penolakan terhadap aliran Ahmadiyah oleh MUI di Sukabumi pada tanggal 23 Februari 2023, penolakan Pengurus Ranting NU Sumberejo Malang terhadap pembangunan Gereja Kristen Jawi Wetan melalui surat bertanggal 20 Januari 2023 hingga spanduk penolakan GBI Impact di Kwarasan, Gamping, Yogyakarta 5 Maret 2023 menunjukkan bahwa intoleransi masih menjadi persoalan besar di negeri ini. 

“Peristiwa-peristiwa tersebut juga menunjukkan dibutuhkan kerja yang lebih keras lagi dari aparat pemerintah maupun keamanan untuk memastikan terlindunginya hak-hak dasar warga negara atas agama dan kepercayaannya. Peristiwa itu juga mengingatkan kita bahwa bahan bakar untuk menyulut api politik identitas masih berlimpah di tengah hidup masyarakat sehari-hari dan dapat disulut kapan saja sejauh diperlukan,” jelas Prof Cungki. 

Lebih lanjut pada Pemilu 2024 mendatang, Prof Cungki bertanya apakah akan kembali ke politik identitas? Pemilu 2024 sebagai pemilu keenam pasca Reformasi yang dihadapkan pada tantangan yang sama. Jika ditelusuri, sentimen politik identitas, manipulasi informasi melalui hoaks, politisasi tempat ibadah dan lembaga publik hingga kekerasaan fisik masih saja terjadi. 

Menurutnya, ancaman ini nyata dari tidak terputusnya penyebaran hoaks dalam berbagai media sosial, dalam bentuk yang semakin halus, kompleks dan dikemas secara amat baik.

Ancaman juga muncul mengingat Pemilu 2024adalah pemilu yang dipastikan akan memilih presiden yang baru. Dalam konteks geopolitik global, ketegangan AS melawan China dan Russia juga pasti akan memberi imbas pada politik nasional Indonesia.

“Di sisi lain kita diuntungkan oleh semakin matangnya publik dari politisasi identitas setelah melalui beberapa putaran pemilu sebelumnya. Kita juga diuntungkan oleh ketahanan ekonomi di tengah ancaman resesi global. Pengakuan publik atas keberhasilan pemerintahan juga turut menciptakan stabilisasi politik Indonesia,” terangnya. 

Dalam konteks lokal di kota Yogyakarta, menurutnya belum sepenuhnya bebas dari manipulasi identitas demi kepentingan-kepentingan politik lokal dan nasional. Sebagai salah satu poros penting politik nasional, Yogyakarta memiliki sejarah panjang dari berbagai intrik dan operasi politik memanfaatkan sentimen identitas agama, suku dan ras.

Di bawah tekanan perkembangan urban yang semakin meninggi di Yogyakarta, sentimen politik identitas sangat mudah dimainkan antara pendatang dan penduduk asli seperti Jawa dan non Jawa serta Muslim dan non Muslim. Tekanan sosial ini semakin kuat dengan pembangunan berbagai infrastruktur publik baru di Yogyakarta yang seringkali melahirkan benturan-benturan sosial yang berulang terjadi.

“Politik identitas tidak akan berdaya menghadapi publik yang resiliens terhadapnya. Perlu dicari model dan cara membangun sebuah masyarakat yang resiliens terhadap manipulasi dan politisasi identitas. Apa dan bagaimana membangun resiliensi publik terhadap politik identitas dalam pemilu 2024 mendatang?,” imbuh Prof Cungki. 

Dari hasil diskusi Obrolan Santai tersebut, muncul sikap seruan dan harapan dari para narasumber Masyarakat Damai Yogyakarta di antaranya adalah 

1. Semakin seriusnya upaya aparat pemerintah maupun keamanan dalam menjamin terlindunginya hak-hak dasar warga negara khususnya kebebasan beragama, berkepercayaan dan beribadat dalam mewujudkan masyarakat yang melindungi mereka yang lemah dan penuh keharmonisan.

2. Mendorong semua pihak untuk mengantisipasi digunakannya kembali cara-cara tidak etis melalui manipulasi agama dan identitas lainnya demi kemenangan sesaat pemilu 2024 dan mengorbankan keutuhan dan ikatan kebangsaan serta mengorbankan mereka yang lemah dan minoritas.

3. Mengajak semua pihak khususnya masyarakat Yogyakarta agar membangun resiliensi menghadapi ancaman politik identitas 2024 seperti
Mendukung upaya KPU, Bawaslu, Pemerintah, Aparat keamanan serta partai-partai dalam mewujudkan pemilu 2024yang benar-benar demokratis, adil dan diwarnai nilai-nilai Pancasila.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *