Menarik mengamati dinamika media sosial di hari-hari jelang peringatan peristiwa Gerakan 30 September. Sudah menjadi semacam ritus tahunan bahwa di penghujung September ruang publik kita akan riuh oleh narasi-narasi kebangkitan komunisme dan Partai Komunis Indonesia alias PKI.
Menariknya lagi, propaganda kebangkitan komunisme dan PKI ini bukan disuarakan oleh kelompok nasionalis. Namun, justru digaungkan oleh kelompok pengusung khilafah. Mereka mendompleng isu kebangkitan komunisme untuk memasarkan ideologi mereka, yakni khilafahisme.
Tagar #BahayaLatenPKI dan #KhilafahJanjiAllah pun dinaikkan bersamaan oleh akun-akun yang sama. Yakni akun-akun media sosial yang selama ini punya rekam jejak getol menyebarkan paham khilafah.
Ada apa sebenarnya? Mengapa kaum khilafaher getol mempropagandakan kebangkitan komunisme? Fenomena ini bisa dibaca dari setidaknya tiga analisa.
Tiga Analisa Mengapa Khilafaher Menggoreng Isu Kebangkitan PKI
Analisa pertama, kelompok khilafah sengaja membonceng isu kebangkitan komunisme untuk membangun citra bahwa mereka adalah kelompok paling nasionalis dan setia pada NKRI. Mereka ingin mendapatkan simpati publik dengan membangun citra bahwa mereka adalah pahlawan bangsa.
Strategi ini jelas ahistoris. Jika menilik fakta sejarah, penumpasan komunisme di tahun 1965-1966 bertumpu pada dua kelompok. Yakni kelompok militer, terutama RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) yang dipimpin oleh Jenderal Sawo Edhi Wibowo. Kala itu, ia memimpin pasukan ke seluruh penjuru tanah air menumpas PKI.
Kelompok lain yang terlihat langsung melawan komunis ialah golongan santri-santri Nahdlatul Ulama (NU) di pedesaan yang sebelumnya menjadi incaran operasi PKI. Para santri terjun langsung menumpas PKI hingga ke akarnya.
Dalam catatan sejarah, nihil adanya peran kelompok-kelompok radikal-kanan dalam menumpas PKI dan komunisme.
Analisis kedua, kelompok khilafaher sengaja menggoreng isu kebangkitan PKI untuk membangun imajinasi bahwa musuh bersama (common enemy) saat ini adalah komunisme. Secara tidak langsung, kelompok pendukung khilafah ingin mengatakan bahwa khilafahisme sama sekali tidak berbahaya bagi bangsa dan negara.
Cara pandang yang demikian ini jelas salah-kaprah. Meski berbeda haluan, khilafahisme dan komunisme pada dasarnya memiliki potensi destruktif yang sama. Dengan demikian, keduanya merupakan musuh laten negara dan bangsa.
Analisis ketiga, kelompok khilafaher sengaja menaikkan isu kebangkitan komunisme dan PKI untuk mengalihkan perhatian publik dari manuver para eks-HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang kini bertransformasi ke dalam beragam yayasan berbasis filantropi serta gerakan sosial-keagamaan lainnya.
Seperti diulas media online harakatuna.com beberapa hari belakangan ini, sejumlah tokoh eks-HTI bertransformasi mendirikan sejumlah yayasan di bidang sosial-keagamaan. Mulai dari gerakan Indonesia Bisa Ngaji (IBN), yang jangkauannya tidak hanya di masyarakat umum, namun juga merambah hingga ke lapas (lembaga pemasyarakatan).
Selain IBN, HTI juga bertransformasi ke dalam yayasan Cinta Quran Foundation, Yayasan Cinta Quran Global, dan Badan Wakaf Alquran. Lembaga-lembaga itu terdaftar resmi di Kementerian Dalam Negeri. Yayasan itu juga menggalang dana dari masyarakat dan menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan yang melawan hukum dan konstitusi negara.
Musuh Bersama Itu Adalah Khilafahisme
Di titik ini, bisa kita simpulkan bahwa kebangkitan komunisme sebagaimana digaungkan kelompok khilafaher itu tidak lebih dari imajinasi alias fantasi. Sebaliknya, transformasi HTI itu pasti benar adanya. Inilah yang patut kita khawatirkan. Jangan sampai, ketakutan kita pada kebangkitan PKI atau komunisme justru mengaburkan kita pada musuh yang sesungguhnya.
Benar bahwa komunisme dan PKI adalah bahaya laten. Namun, musuh itu kini tengah tertidur pulas sekian lama. Perlu momentum dan kekuatan untuk membangkitkannya. Meski ada kemungkinan, namun hal itu sangat kecil.
Sebaliknya, geliat transformasi HTI itu kini sudah di depan mata. Mereka bergerak, membangun jejaring, mengumpulkan dana, dan menyusup ke lembaga-lembaga strategis pemerintah. Mereka, dengan sumber daya yang dimilikinya, berusaha menyebarkan doktrin khilafah dan merekrut simpatisan-simpatisan baru dari beragam kalangan.
Kita tidak boleh lengah. Pemerintah tidak boleh kecolongan. Dan umat sudah seharusnya tidak mudah terpedaya tipu muslihat HTI. Organisasi ini memang lihai berkamuflase. Di kampus, mereka menyatu sebagai sebagai organisasi ekstra kampus bernama Gema Pembebasan. Di kalangan seniman, ada komunitas seni bernama “Khat” yang juga berafiliasi dengan HTI.
Di kalangan artis, ada komunitas selebritis hijrah yang dibina oleh tokoh-tokoh HTI. Para artis yang berhijrah ini bisa dikatakan sebagai aset gerakan khilafah karena mampu memiliki banyak penggemar dan pengikut di media sosial.
Maka, ketimbang hanyut dalam fantasi Kebangkitan PKI yang jelas hanya ada di alam wacana, seharusnya kita fokus menghadapi transformasi HTI yang jelas-jelas nyata adanya. Munculnya beragam gerakan dan organisasi yang berafiliasi atau didirikan oleh dedengkot eks-HTI ialah sinyalemen bahwa oraganisasi terlarang itu belum tiarap. Selama ini mereka menunggu peluang dan momentum untuk bangkit kembali. Momentum itu mereka ciptakan salah satunya dengan menggoreng isu-isu sensitif seperti kebagkitan PKI.