Media Tugu – Muktamar NU ke-34 di Lampung tinggal menunggu hari. Riuh rendah dinamika pencalonan sudah memanas. Pasalnya, ada dua calon yang akan berlaga memperebutkan kursi ketua PBNU.
Dua bulan belakangan ini, aura persaingan kedua calon sudah riuh membanjiri setiap lini media massa. Tim sukses kedua kubu saling melempar kritik kepada calon yang tidak didukung dalam Muktamar NU ke-34 ini.
Masing-masing calon berusaha merebut hati Muktamirin dengan slogan dan visi-misi ke depan jika nanti akan terpilih menjadi ketua PBNU. Tapi ada satu hal yang kurang elok ketika ada salah satu calon yang katanya membawa semangat regenerasi akan tetapi kalau dilihat seksama malah membawa regenerasi yang regresif.
Salah satu kritik datang dari aktivis Muda NU Papua, Pace Jufran yang sangat miris ketika melihat ada salah satu calon ketua PBNU yang terlalu menyeret nama besar Gus Dur untuk kepentingan pencalonan dalam Muktamar ini.
Menurut Jufran, pemilihan kata Menghidupkan Gus Dur tidak lah tepat, karena Gus Dur tidak benar-benar meninggal dalam bahasanya Martin Heidegger kematian Gus Dur adalah Sterben, ia meninggal hanya jasad saja. Karya dan legecynya tetap hidup, semangat Gus Dur selalu terpatri dalam setiap jiwa kaum Nadhliyin. Justru dengan dengan selalu menggoreng nama Gus Dur dalam momentum Muktamar ini membuktikan bahwa ia tidak mempunyai visi misi yang original.
Sikap yang demikian mencerminkan keegoisan seakan-akan ialah sosok yang paling meneladani setiap perjalanan hidup dan pemikiran Gus Dur, jika terbukti Gus Dur hanya dibuat “dagangan” tetapi ia tidak mencerminkan arah perjuangan Gus Dur.
“Gus Dur tidak benar-benar mati. Di makam Gus Dur tertulis di sini terbaring pejuang kemanusiaan jadi tidak usahlah pakai kata hidupkan Gus Dur. Toh, Gus Dur hanya meninggalkan kita kalimat humanis (kemanusiaan) Tidak perlu Gus Dur digoreng-goreng terus di tiap momentum hajat NU,” ungkap Jufran kepada media.
Seperti diketahui narasi “Menghidupkan Gus Dur” memang menjadi jargon utama ketika balihonya sudah terpampang di beberapa sudut kota Lampung. Ini menandakan bahwa ia ingin menggaet kekuatan dan dukungan lewat nama besar Gus Dur.
Padahal menurut Jufran, narasi ini kurang menarik karena hanya untuk kepentingan jangka pendek pemilihan ketua PBNU saja. Para kader NU sudah pasti paham, jika calon ketua PBNU hanya menjual nama besar seseorang tokoh saja, ini membuktikan betapa kerdil gagasan dan pemikirannya, bak katak dalam tempurung. Semua kader NU sejatinya juga kader Gus Dur, sangat picik jika mengkooptasi bahwa penerus Gus Dur hanya satu orang saja.
“Narasi merebut Gus Dur kurang menarik untuk menggaet kekuatan dan dukungan. Sejatinya Gus Dur dan nilai-nilainya tidak akan hilang dari warga Nadhliyin, apalagi kalau narasi ini muncul menjelang kontestasi Muktamar. Kita semua adalah Gus Dur kemanusiaan, keadilan, keseteraan, kebebasan, persaudaraan, budaya, kesederhanaan, kesatrian itulah Gus Dur dan kita semua,” tandas Jufran.