Teka-teki seputar kurva pemulihan ekonomi Indonesia berpeluang terjawab. Pertumbuhan ekonomi 2021 cenderung berbentuk kurva V, menyusul membaiknya indikator perekonomian dan kemajuan penanganan pandemi.
Dalam Webinar Economic Outlook 2021 yang digelar CNBC Indonesia, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan optimismenya bahwa pemulihan terus berjalan pada 2021, sehingga target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% bakal dicapai.
“Berbagai lembaga internasional baik Bank Dunia, OECD
(Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan Ekonomi/Organization for
Economic Cooperation and Development), ADB (Bank Pembangunan Asia/Asian
Development Bank) dan IMF (Dana Moneter Internasional/ International
Monetary Fund) memproyeksikan pertumbuhan Indonesia di level 4-4,8%,
sejalan dengan target pemerintah 4,5-5,5%,” tuturnya pada Kamis
(25/2/2021).
Optimisme itu mengindikasikan bahwa pemerintah meyakini ekonomi akan berbalik positif tahun ini, atau membentuk kurva pemulihan ekonomi berbentuk V. Wajar saja, pemerintah sejak 2020 menjalankan program untuk menggenjot mesin ekonomi, dengan memberikan berbagai insentif bagi pelaku usaha, sembari menekan penyebaran virus melalui pembatasan sosial.
Untuk tahun ini, insentif pelaku usaha, bantuan sosial, dan penanganan medis pandemi tetap dipertahankan. Namun fokus penyelamatan ekonomi agak berbeda. Jika tahun lalu pemerintah lebih fokus dengan restrukturisasi kredit-utamanya bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), maka tahun ini prioritas bergeser pada stimulus untuk belanja masyarakat.
Di samping terus konsisten menjalankan program penanganan pandemi, tahun ini pemerintah memberikan stimulus untuk merangsang masyarakat berbelanja, ketimbang menabung (yang memicu kenaikan dana pihak ketiga/DPK perbankan hingga 19% pada 2020). Hal ini penting dilakukan mengingat belanja masyarakat menyumbang 54% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Terbaru, pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) properti berbarengan dengan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% untuk pembelian mobil baru dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 70%. Kebijakan terakhir ini diperluas, tak hanya untuk pembelian mobil bermesin 1.500 cc, melainkan juga 2.500 cc.
Airlangga Hartarto menyebutkan pemberian insentif PPnBM mobil dan insentif atas PPN perumahan tersebut bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi minimal sebesar 1%. “Secara langsung kita melihat bisa menambahkan pertumbuhan 0,9% sampai 1% dengan multiplier effect-nya,” kata dia dalam konferensi pers daring di Jakarta, Senin (1/3/2021).
Apakah optimisme pemulihan ekonomi tahun ini tersebut beralasan atau cenderung jauh panggang dari api? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia, dengan mengacu pada indikator ekonomi, contoh di negara lain, dan kemajuan penanganan pandemi.
Kebijakan insentif pajak pembelian rumah dan mobil sejauh ini mendapatkan afirmasi positif. Survei Rumah.com menyebutkan pencarian rumah kian meningkat usai relaksasi pajak, suku bunga rendah, PPN 0%, hingga uang muka 0%.
Properti yang saat ini diburu adalah rumah tapak (84%), tanah (13%) dan apartemen (3%). “Para pencari properti meningkat karena konsumen jadi lebih optimistis… Merupakan tertinggi dalam 3 tahun terakhir,” tutur Country Manager Rumah.com Marine Novita, Selasa (16/3/2021).
Sementara itu, survey Lembaga Survei KedaiKOPI menemukan dukungan publik atas kebijakan insentif pajak mobil. Survei mereka mengenai persepsi ats relaksasi PPnBM terhadap 800 responden menyebutkan 74,9% menilai kebijakan itu adil dan 77,6% menyatakan menyetujui.
Di lapangan, agen tunggal pmegang merek (ATPM) kompak melaporkan peningkatan permintaan. Marketing Director PT Toyota Astra Motor Anton Jimmy menyebutkan sejak 1-8 Maret, total surat pembelian kendaraan (SPK) yang dikeluarkan naik 94-155% secara bulanan.
Peningkatan SPK juga terjadi pada penjualan mobil Honda yang mengalami kenaikan penjualan sekitar 40-60%, sebagaimana dituturkan oleh Business Innovation and Sales & Marketing PT Honda Prospect Motor Yusak Billy.
Daihatsu juga mencatatkan kenaikan pembelian model yang mendapatkan insentif. nilai lonjakan tersebut, menurut Marketing and Customer Relation Division Head PT Astra International Daihatsu Sales Operation Hendrayadi, berkisar 20-40%.
PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) mengklaim selama 4 hari berlakunya relaksasi PPnBM, permintaan mobil Suzuki naik 100% secara bulanan. Peningkatan penjualan juga disampaikan oleh PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales (MMKSI) meski dalam tingkat lebih rendah.
Sejauh mana pertumbuhan pembelian rumah dan mobil membantu menggenjot perekonomian? Jawabannya bisa ditemukan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), mengenai porsi setiap lapangan usaha yang terdampak oleh insentif tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Ada tiga sektor yang mendapatkan efek langsung dari gairah pembelian properti dan otomotif. Pertama, sektor manufaktur (otomotif); kedua, sektor perdagangan (otomotif); dan ketiga, sektor perumahan (real estate). Satu lagi yang terimbas secara tak langsung adalah sektor keuangan (bank, asuransi, dan multifinance).
Mengacu pada porsi pembentukan keempat lapangan usaha tersebut, khususnya sektor otomotif dan real estate, Tim Riset CNBC Indonesia mencatat ketiganya menyumbang 6,7% PDB nasional, nyaris sepersepuluh produk barang dan jasa yang tercipta di perekonomian, pada 2020. Estimasi ini belum memasukkan efek berantai (multiplier effect) ke sektor lain.
Jika sektor keuangan ditambahkan, maka ada tambahan porsi sekitar 1,7% (dari total kontribusi sektor keuangan sebesar 4,3% ke PDB). Pasalnya, sektor properti dan otomotif di kredit, pembiayaan dan perasuransian berkisar 40% dari total kontribusi sektor keuangan.
Di perbankan, Kredit Pemilikan Mobil (KPM), Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) dan kredit multiguna (perlengkapan rumah tangga) menyumbang sepertiga (28%) kredit perbankan 2020.
Di asuransi, polis asuransi harta benda dan mobil mendominasi penjualan asuransi nasional, dengan kontribusi sebesar 45,9% (menurut Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/AAUI per 2020). Di multifinance, leasing mobil menyumbang 74% pembiayaan di industri tersebut (menurut Fitch Ratings, per 2019).
Dalam perhitungan kasar, sektor properti dan otomotif yang mendapatkan insentif PEN menyumbang 8,4% PDB. Jika memasukkan efek berantai keduanya terhadap kenaikan permintaan sektor lain (konstruksi, utilitas gas dan air, kelistrikan, industri furnitur, hingga barang listrik) maka kontribusi tersebut bakal lebih besar lagi.
Sebagai catatan, sektor properti saja memiliki 174 industri pendukung (mulai dari kabel, besi, furnitur, hingga pasir) sehingga insentif properti dan otomotif bakal memiliki multiplier effect luas, setidaknya dua kali lipat dari porsi mereka ke PDB, atau menjadi 16,8% (dari PDB) atau sekitar seperlima dari PDB.
Dengan demikian, jika ekonomi tahun ini tumbuh 5%, maka besar peluang 1% di antaranya disumbangkan oleh sektor properti dan otomotif yang bergairah berkat insentif tersebut. Ini sejalan dengan pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Ketika pandemi mendera, Korea Selatan (Korsel) merupakan salah satu negara di Asia yang paling terpukul. Maklum saja, sektor jasa-sebagai sektor yang paling tertekan oleh pembatasan aktivitas masyarakat-menyumbang 57,1% Produk Domestik Bruto (PDB) mereka per 2019.
Tatakala separuh kontributor mereka itu terpukul, secara bersamaan aktivitas manufaktur yang menyumbang 25,3% dari PDB mereka juga anjlok karena supply chain dunia terganggu. Korsel, bersama China. Jepang, dan Taiwan merupakan motor utama manufaktur di kawasan.
Menghadapi tantangan pandemi, pemerintah Korsel pun mendongkrak
belanja masyarakat dengan memberikan pembebasan pajak pembelian mobil
selama 3 bulan, pada Maret-Juni. Besaran pajak pembelian dipangkas dari
5% (dari total nilai mobil) menjadi hanya 1,5%, atau maksimum sebesar 1
juta won (setara Rp 12,6 juta) per mobil.
Pajak lainnya seperti pajak pertambahan nilai (PPn) juga dipangkas, bersamaan dengan pemberlakukan kembali pengurangan pajak penjualan sebesar 30% yang berlaku pada Desember 2019. Jika ditotal, penghematan yang dinikmati pembeli mobil bisa mencapai Rp 18 juta.
Asosiasi Produsen Mobil Korea (Korea Automobile Manufacturers Association/KAMA) pada 4 Februari mengumumkan bahwa penjualan mobil global anjlok 14% pada 2020, menjadi penurunan yang ketiga tahun berturut-turut.
Negara emerging market termasuk India dan Brazil anjlok lebih dari 20% secara tahunan dan penjualan di Amerika Serikat (AS), Jepang dan Jerman anjlok sekitar 10%. Namun, hal sebaliknya terjadi di Korsel.
Pasar otomotif Negeri Ginseng tumbuh 6,2% menjadi 1.905.972 atau yang pertama kali dalam sepanjang sejarah menembus angka 1,9 juta. Ia menjadi satu-satunya pasar otomotif domestik yang penjualannya meningkat di kala pandemi, sehingga pangsa pasarnya merangsek ke 10 besar dunia yakni di posisi 9, naik dari posisi 12.
Menurut KAMA, rerata harga jual mobil naik dari 32,9 juta won menjadi 35,9 juta won tahun lalu, sementara jumlah mobil impor melampaui angka 300.000 untuk pertama kali dalam sejarah Negeri Ginseng. Pangsa pasar mobil impor juga naik dari 15,3% menjadi 15,9% dari sisi volume, dan naik lagi menjadi 28,1% dari sisi nilai penjualan.
Pada 2020, ada 225.000 mobil hijau (elektrik dan hibrid) yang terjual di Korsel, dan pangsa pasarnya mencapai 11,8% atau pertama kali dalam sepanjang sejarah berhasil menembus level psikologis 10%. Volume penjualan mobil hibrid melompat 66.5% menjadi 173.000 sedangkan mobil listrik hidrogen menembus 5,841 unit.
Berkaca pada Korsel, ada peluang bahwa insentif otomotif di Indonesia benar-benar membantu menggenjot perekonomian karena efeknya langsung dinikmati atau dirasakan oleh konsumen. Terlebih, di Indonesia ada insentif properti yang menyertai.
Saat ini, pandemi menjadi problem paling fundamental menggerogoti perekonomian semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Bisa dibilang, virus Covid-19 merupakan virus paling anti-pertumbuhan ekonomi karena ketiadaan vaksin dan pengobatan efektif membuat aktivitas sosial dan ekonomi menjadi sarana penyebaran virus mematikan ini.
Pengendaliannya pun berkonsekuensi besar pada aktivitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Jika karantina wilayah (lockdown) diberlakukan secara penuh di kota-kota besar Indonesia-seperti halnya yang diberlakukan di Wuhan, China, aktivitas ekonomi dipastikan terhenti dan masyarakat di bawah garis kemiskinan berpeluang menjadi korban.
Menurut data Worldometers, Indonesia masih berada di
posisi 20 besar negara dengan total temuan kasus Covid-19 yang
terbanyak. Per 23 Maret, ada 1,47 juta orang warga Indonesia yang
terinfeksi virus ini. Jumlah kematian sebanyak 39.865 orang, sedangkan
jumlah penyintas mencapai 1,3 juta orang.
Meski demikian, jika bicara tren maka Indonesia menjadi salah satu negara yang mencetak laju pertumbuhan kasus yang tengah menurun, manakala beberapa negara maju justru mencetak kenaikan kasus dan mewaspadai gelombang ketiga seperti misalnya Prancis dan Jerman.
Sumber: Worldometers |
Tren perlandaian tersebut tidak bisa dilepaskan dari upaya pemerintah menekan laju penyebaran virus, dengan dampak seminimal mungkin terhadap aktivitas perekonomian. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dijalankan, yang kemudian disempurnakan menjadi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro per 9 Februari 2020.
Semua program tersebut diramu oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN)-yang diketuai oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Jika tahun lalu penanganan Covid-19 lebih diarahkan pada pencegahan penyebaran virus dan penanganan pasien, maka tahun ini laju akselerasi lebih ditekankan pada program vaksinasi.
Kabar baiknya, vaksinasi di Indonesia dijalankan dengan laju yang tercepat kedua di Asia Tenggara, setelah Singapura-yang jumlah penduduknya hanya 7 juta orang, masih lebih sedikit ketimbang populasi Jakarta. Hal ini menunjukkan program vaksinasi secara efektif dijalankan, meski Indonesia merupakan negara berpopulasi terpadat di Asia Tenggara.
Sumber: Our World in Data |
Kemajuan vaksinasi ini merupakan catatan khusus yang mesti diapresiasi. Pasalnya, kegagalan vaksinasi merupakan risiko besar yang menghantui kesehatan dunia, bahkan sejak sebelum pandemi. Lihat saja gerakan anti vaksin yang bermunculan baik di Barat maupun Timur dunia.
Dalam laporan berjudul “Ten Threats to Global Health in 2019”, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebutkan ‘keraguan vaksinasi’ sebagai salah satu ancaman global, setara dengan ancaman perubahan iklim dan pandemi flu-yang terbukti menyerang pada 2020.
Ketika vaksinasi berjalan cepat di negara seperti Indonesia (berpopulasi padat dengan porsi konsumsi besar di PDB), kian terbuka peluang pemulihan ekonomi nasional yang lebih cepat dibandingkan dengan negara lain-minimal di Asia Tenggara. Sebagaimana diketahui, vaksin adalah kunci untuk keluar dari pandemi.
Sepanjang dan seketat apapun lockdown tak bakal mengakhiri pandemi, selama belum ada vaksin untuk menetralisir virus. Sebaliknya, ketika tim di bawah komando Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sukses menjalankan vaksinasi, maka lockdown tak lagi relevan dan aktivitas masyarakat bakal berjalan normal kembali.