Kepada Bapak Gatot Nurmantyo, video yang menyajikan cerita Bapak soal ajakan seseorang ke Bapak untuk mengkudeta Ketum AHY, Partai Demokrat (PD) melakui KLB. https://youtu.be/JzeHE1SM050.
Sayangnya, cerita Bapak tersebut tidak menyebutkan dengan jelas siapa-siapa yang menemui Bapak, kapan, dimana dan mana buktinya? Cerita Bapak tersebut tidak mampu membangkitkan rasa percaya pada diri masyarakat.
Masyarakat hanya percaya pada fakta.
Kalau boleh bertanya kepada Bapak, apakah mereka yang mengajak Bapak untuk mengganti Ketum AHY melalui KLB tersebut adalah kader-kader PD, dan sekerang posisi politik mereka dimana? Di KLB Deliserdang atau di Ketum AHY?
Dengan asumsi, cerita Bapak itu benar, maka gonjang-ganjing internal PD sebenarnya sudah lama terjadi, jauh sebelum pak Moeldoko muncul dan pak Moeldoko bukan satu-satunya sosok yang didekati kader-kader PD.
Bagi masyarakat cerita Bapak itu aneh, lebih-lebih jika kader-kader PD tersebut, sekarang ada di pihak KLB Deliserdang. Apakah mereka tidak tahu kedekatan dan jalinan komunikasi politik Bapak dengan pak SBY yang sangat baik?
Apakah Bapak sudah lapor ke pak SBY pada kala itu? Agar pak SBY sebagai ahli strategi, bisa meredam konflik internal PD dengan cara demokratis yang bermartabat.
Dalam cerita tersebut, intinya Bapak ingin menekankan soal jasa pak SBY yang telah mengangkat Bapak menjadi KSAD. Tentunya, atas usulan bapak Panglima TNI yang padakala itu dijabat Jenderal Moeldoko.
Rentetan jasa itu tidak bisa sepenuhnya diclaimed pak SBY, namun harus dishared merata di tingkat bawah. Lebih-lebih, di TNI, ada jenjang herarki dan jalur komando. Tanpa pak Moeldoko, mungkin, nama Bapak tidak akan diusulkan sebagai calon KSAD ke Presiden SBY pada kala itu. Pak Moeldoko juga berjasa ke Bapak.
Saya akan ikuti cara berfikir Bapak, namun, maaf, pasti akan saya debat di tengah jalan, dengan pola pikir saya, dengan harapan, kita berdua mampu mendekati kebenaran yang lebih hakiki dan konsisten dalam berpolitik.
Jabatan KSAD adalah jabatan yang sangat bergengsi dan strategis, yang tentunya membutuhkan sosok yang cerdas, jujur, nasionalis sejati, segudang pengalaman tempur dan teritorial dan loyal. Loyal yang saya maksudkan adalah loyal pada atasan melalui jalur komando yang ada dan pada negara.
Jujur, saya sangat keberatan dengan munculnya istilah jasa pada pengangkatan jabatan KSAD, karena jasa itu tenggelam jauh di bawah kompetensi seorang KSAD.
Hingga hari ini, saya percaya, bahwa TNI adalah institusi yang paling solid dan rigid. Kepercayaan saya ini didukung oleh hasil survey yang muncul beberapa waktu yang lalu yang menempatkan TNI sebagai institusi yang paling dipercaya, di atas lembaga Kepresidenan dan jauh di atas institusi KPK. Sangat membagakan.
Berdasar fakta di atas, jelas, jasa itu tidak ada. Justru penyebutan jasa itu menyesatkan dan merendahkan institusi TNI.
Kalau menurut Bapak, pak SBY berjasa telah mengangkat Bapak menjadi KSAD, Presiden Jokowi jauh lebih berjasa dibandingkan pak SBY, karena telah melantik Bapak menjadi Panglima TNI.
Kalau saya jadi Bapak, saya cium tangan Presiden Jokowi empat kali, dan saya cium tangan pak SBY sekali saja cukup. Ini kalau cara berfikirnya dalam konteks jasa.
Ketika Bapak masih menjabat Panglima TNI, khususnya di rentang waktu saat ada demo besar-besaran dan berjilid-jilid dengan menu nasi bungkus, yang tujuannya mempidanakan pak Ahok, Bapak sering bicara di beberapa Televisi. Bapak menyebutkan, politik TNI adalah politik negara. Saya sependapat. Politik negara adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI yang Berbhinneka Tunggal Ika.
Pancasila adalah kompromi politik terbaik bagi bangsa Indonesia yang plural ini, dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.
Pancasila bukan agama, melainkan ideologi politik yang mengatur kehidupan orang-orang beragama.
Pancasila adalah jiwa, tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang menggambarkan sosok manusia Indonesia bukan sosok Tuhan. Saya tulis kembali Pancasila dalam format frasa bukan dalam format urut-urutan sila-sila, sehingga mudah difahami.
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan cara Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. INI SILA PERTAMA DAN KEDUA YANG INTINYA MENGGAMBARKAN MANUSIA INDONESIA SECARA INDIVIDUAL YANG BERKETUHANAN YANG MAHA ESA DENGAN CARA MANUSIAWI YANG ADIL DAN BERADAB. BUKAN DENGAN CARA BERINGAS DAN MENGKAFIR-KAFIRAN ORANG LAIN.
Demi terwujudnya Persatuan Indonesia yang menjalankan kehidupan sosial politiknya melalui Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan demi terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. INI SILA KETIGA, KEEMPAT DAN KELIMA, DIMANA MENGGAMBARKAN PERILAKU SOSIAL POLITIK MANUSIA INDONESIA YANG MENGEDAPKAN PERSATUAN INDONESIA MELALUI MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT ATAU MUSYAWARAH UNTUK SEPAKAT, DEMI KESEJAHTERAAN BERSAMA.
Pancasila adalah ideologi equilibrium yang tidak akan pernah bisa mengakomodir ideologi ekstrim: baik kanan atau kiri.
Bagi saya, ideologi Kiri dan Kanan sama busuknya, karena sama-sama anti Pancasila, anti NKRI yang berbhinneka, otoriter, anti demokrasi dan menghalalkan politik kekerasan. Keduanya hakekatnya sama, hanya yang kiri dilabeli atheis dan yang kanan sibuk mempolitisir agama.
Perlu dibedakan antara kehidupan keagamaan yang dituntun ajaran agama dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yang diatur Pancasila.
Pada saat Bapak bicara di Televisi sebagai Panglima TNI pada kala itu, sangat saya rasakan dan juga dirasakan banyak orang, Bapak sebagai Panglima TNI, dimana jalurnya adalah komando, berseberangan dengan Kebijakan Politik Presiden Jokowi. Dilihat dari konteks jasa, sikap politik Bapak pada kala itu, menjungkir balikkan pemahaman jasa yang Bapak ceritakan di video di atas.
Tidak tega ke pak SBY koq tega ke Presiden Jokowi? Bapak tidak konsisten. Sikap Bapak justru menihilkan adanya jasa.
Setelah bapak purnatugas di TNI dan menjadi salah satu deklarator ormas KAMI, semakin jelas bagi saya, bahwa Bapak memang secara politik berseberangan dengan Presiden Jokowi. Bagi saya tidak masalah dan itu hak politik Bapak. Saya hanya kecewa, mengapa ada beberapa deklarator ormas KAMI yang ditangkap Kepolisian Republik Indonesia? Niatan baik harus dijalankan dengan cara yang baik pula: tidak menerjang nilai etika, moral dan kepatutan, dan tidak membahayakan politik negara.
Mohon maaf pak Gatot, saya tidak percaya dengan cerita Bapak di video itu, karena tidak menyajikan bukti dan saya faham betul Bapak sedang bermain politik polarisasi Moeldoko vs. SBY.
Ir. KPH. Bagas Pujilaksono Widyakanigara, M. Sc., Lic. Eng., Ph. D.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta