Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru bisa membenahi moral bangsa. Maka dari itu pihaknya mendukung diterapkannya pasal perzinaan yang ada dalam KUHP baru.
“Pasalnya, hal itu memang harus diatur dalam perundang-undangan. Zina dan sebagainya memang demikian ada harus dirangkai dalam bentuk ketentuan UU yang menjadi positif,” kata Wasekjen Bidang Hukum dan HAM MUI, Ikhsan Abdullah saat diskusi Polemik Trijaya bertajuk ‘Pro Kontra KUHP Baru’ secara daring
Menurut Ikhsan, dengan disahkannya KUHP yang baru, diharapkan dapat memperbaiki moralitas bangsa. “Sehingga dengan hukum ini dapat membenahi secara moral hal masa lalu hukum kolonial Belanda yang izinkan dan abaikan hal-hal seperti itu, itu tidak terjadi,” tegas Ikhsan
Dari perspektif agama, Ikhsan menekankan bahwa, zina di semua kitab suci agama juga telah mengatur dan melarang hal tersebut terjadi.
“Hukum harus mengatur di depan supaya masyarakat mengikuti ini semua sesuai dengan kaidah kitab semua kitab dari kitab manapun sampai terakhir kitab suci Al-Quran sudah mengatur,” ungkap Ikhsan.
Menurutnya, rangkaian nilai baru ini pihak MUI menyambut positif sebagai satu perluasan delik susila yang kedepan sebagai hukum mengatur masyarakat dengan nilai peradaban baru yang sebenarnya sudah lama.
Sebelumnya, salah satu tim perumus KUHP, Chairul Huda mengungkapkan, dalam produk hukum terbaru itu justru sebenarnya mengembalikan makna sesungguhnya dari pengertian zina itu sendiri.
“Justru kita sedang mengembalikan makna zina itu menurut kesadaran hukum masyarakat yang ada di dalam kamus itu,” kata Chairul dalam diskusi yang sama.
Ahli hukum pidana itu menjelaskan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), zina memiliki pengertian hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. “Kalau ada orang di luar nikah seks namanya zina. Dulu KUHP peninggalan Belanda yang berzina hanya mereka yang terikat perkawinan,” ucap Chairul.
Namun, pasal perzinaan menjadi ramai dan sorotan lantaran mereka menggunakan dalil hukum memasuki ruang pribadi. “Iya satu sisi kalau hukum hanya mengekor masyarakat. Tapi hukum di sini berdiri di depan, mengarahkan masyarakat bahwa nikah satu-satunya cara melegalkan hubungan seksual. Ini soal perspektif saja,” pungkas Chairul.