Mediatugu.com – Sejumlah tokoh nasional mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Selasa, 18 Agustus 2020. Berbalut gerakan moral, KAMI menjadi wadah berkumpulnya para tokoh yang kerap berseberangan dengan Presiden Joko Widodo.
Deklarasi KAMI dihadiri Din Syamsuddin dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Tokoh yang turut hadir antara lain Rocky Gerung, Ichsanuddin Noorsy, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dan MS Kaban. Dalam struktur kepengurusan, Gatot, Din, dan Rochmat Wahab mengisi presidium.
Deklarasi KAMI di Tugu Proklamasi diikuti deklarasi serupa di sejumlah daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, hingga Aceh.
Deklarasi di daerah itu menyulut penolakan. Juga mendapat protes karena dianggap memicu kerumunan di masa pandemi.
Reaksi politik pun langsung bermunculan dari partai koalisi pemerintah hingga istana kepresidenan.
“Sebagai sebuah gerakan penyelamatan. Pertanyaannya, apanya yang perlu diselamatkan?” kata Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, merespons deklarasi KAMI.
Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menyindir KAMI sebagai hasrat berkuasa menjadi presiden. Itu dikatakan Mega dalam pidato sekolah partai calon kepala daerah PDIP secara daring, Rabu (26/8).
Sementara dari Istana, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengingatkan KAMI untuk tidak mengganggu stabilitas nasional.
“Kalau sudah mengganggu stabilitas politik, semua ada risikonya. Negara punya kalkulasi dalam menempatkan demokrasi dan stabilitas,”.
Muncul pula gerakan tandingan KAMI yakni Kebijakan Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) yang dipelopori mantan tim sukses Jokowi di Pilpres 2019, Maman Imanulhaq.
“KITA berbeda dengan gerakan yang lain. KITA dideklarasikan atas dasar cinta kita kepada Tanah Air, mencintai Tanah Air adalah bagian dari iman. KITA ini gerakannya tidak mengandalkan kerumunan, lalu narasi-narasi keputusasaan,” ujar Maman.
KAMI lahir di tengah kemelut wabah virus corona dan gelombang protes Omnibus Law Cipta Kerja. Namun KAMI lebih memilih isu ideologi sebagai peluru mengkritik pemerintah. Dalam sebuah surat kepada Presiden Jokowi, KAMI kembali membangkitkan hantu komunisme yang telah lama mati.
“Anak cucu kaum komunis ternyata sudah menyelusup ke lingkaran-lingkaran legislatif maupun eksekutif. Mereka menutup mata terhadap fakta sejarah, bahwa kaum komunis yang lebih dulu membantai para ulama dan santri,” dikutip dari salinan surat terbuka KAMI,
Seiring bergesernya isu, KAMI pun turut mengubah tema kritik. Memasuki Oktober, kritik dari KAMI lebih terfokus pada Omnibus Law Cipta Kerja.
Presidium KAMI, Gatot Nurmantyo mendukung para buruh mengambil langkah mogok kerja nasional menuntut pembatalan Omnibus Law Cipta Kerja.
Gatot menyatakan aksi mogok tersebut merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi. “Mencermati bahwa Kaum Buruh Indonesia akan mengadakan mogok nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020 ini, maka KAMI mendukung langkah konstitusional Kaum Buruh tersebut,” kata Gatot, Jumat (2/10).
Pemerintah dan DPR mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja, 5 Oktober, yang direspons dengan gelombang demonstrasi buruh dan mahasiswa di berbagai daerah.
Sebuah baliho yang terpasang di titik demonstrasi di Jakarta, Jalan Medan Merdeka Barat, memajang tulisan ‘KAMI terbukti menunggangi aksi demo buruh dan pelajar’.
“Sudah diduga dan diantisipasi bahwa akan ada gerakan untuk mendiskreditkan atau membunuh karakter KAMI dengan cara-cara licik dan jahat itu,” kata Din, merespons sejumlah spanduk yang menyebut KAMI dalang demonstrasi buruh dan mahasiswa.
Hanya beberapa hari setelah insiden spanduk itu kepolisian di Medan dan Jakarta melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh KAMI.
Beberapa di antara mereka adalah Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat, serta salah satu deklarator KAMI Anton Permana.
Total 8 orang ditangkap pada 12-13 Oktober 2020. Mereka dituduh melakukan penghasutan sehingga menyebabkan unjuk rasa berakhir ricuh. KAMI pun mengadukan penangkapan Jumhur dkk itu ke Komnas HAM pada 27 Oktober lalu.
Proses hukum tetap berjalan. Tiga pentolan KAMI, Syahganda, Jumhur, dan Anton Permana jadi tersangka. Mereka dijerat pasal berbeda dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Ketika Jumhur cs mendekam di bui, Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan Bintang Mahaputera kepada Gatot.