Pemerintah mengucurkan dana otonomi khusus (Otsus) Papua sudah berjalan hampir 20 tahun, dan akan berakhir pada Desember 2021.
Meski mendapat beragam tanggapan dari masyarakat, dana Otsus Papua dinilai memiliki dampak positif, walaupun disertai dengan beberapa catatan.
Sekretaris FKUB Jayawijaya, Pdt Alexsander Mauri, mengatakan, terlepas adanya penolakan dari masyarakat dana Otsus Papua mempunyai dampak positif. Hanya saja, belum adanya regulasi yang pas dalam menata kelolanya dengan baik.
“Kalau dilihat besaran dana yang sudah turun 19 tahun lebih itu cukup besar, bahkan mampu mensejahterakan masyarakat Papua. Pertanyaannya, kenapa ada masyarakat yang menolaknya,” ujarnya, usai acara webinar “Moya Discussion Group dengan tema Dana Otsus untuk Membangun Papua,” di Jakarta, Jumat (18/9/2020) malam.
“Itu yang membuat dampak dana Otsus tidak maksimal terserap dan masyarakat tidak nikmati itu. Dana saat ini ditopang dari selain Otsus. Kalau pemerintah mau evaluasi dan memeriksa. Kalau ada penyimpangan ya diproses,” paparnya.
Mauri mengatakan, sebelumnya ada masyarakat yang menyuarakan Papua merdeka, akhirnya pemerintah menurunkan kebijakan Otsus. Hanya saja dalam pelaksanaan tidak maksimal, sehingga ada penolakan.
“Di Papua terdapat unsur dari pemerintah, masyarakat adat dan agama. Kita berharap agar dalam pengelolaan dana Otsus juga melibatkan unsur dari masyarakat adat dan agama,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, dalam upaya peningkatan derajat kesejahteraan dan pembangunan ekonomi masyarakat di Papua dan Papua Barat, pemerintah mengucurkan dana otonomi khusus atau dana otsus.
Dalam nota keuangan beserta APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2020 disebutkan, dana otsus Papua terutama digunakan untuk pendanaan pendidikan dan kesehatan.
Pada 2015, dana otsus untuk Papua senilai Rp4,9 triliun dan Papua Barat Rp2,1 triliun. Dana otsus terus ditingkatkan hingga tahun 2020 menjadi Rp 5,9 triliun untuk Papua dan Rp 2,5 triliun untuk Papua Barat